Juli 27, 2024

SMP NEGERI 3 BABAT

Sekolah Adiwiyata Nasional

Karya Opini Mediacetak Sudah Terbit

Sudah dimuat DUTA

Refleksi Hari Pers Nasional Ke 60, Tanggal 9 Februari 2006 :

DILEMA ITU BERNAMA KEBEBASAN PERS

 

Oleh : Ahmad Fanani Mosah

(Penulis Adalah Mantan Redaktur Sebuah Tabloid, Kini Guru SMP Negeri 3 Babat Sebagai  Penulis Dan MC Freelance)

MOTIVASI

(dorongan semangat)  yang ditujukan kepada para jurnalist, Napoleon Bonaparte pernah berujar, bahwa setajam-tajamnya senjata serdadu masih tajam pena wartawan. Ungkapan ini kemudian dijadikan kata-kata mutiara, khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung  di bidang tulis-menulis (baca : wartawan & jurnalist). Dan ketika di era 60-an hingga 70-an (lebih-lebih saat belum ada komputer), segala sesuatu yang ada kedekatan dengan perihal tulis-menulis  dan perkertasan (wartawan, percetakan, perbukuan, perpustakaan, pendidikan, pesantrenan dst) berbangga hati melalui logo kebesarannya. Yakni berupa gambar mata pena dan atau bulu ayam, yang tempo doeloe memang bulu ayam dijadikan sarana menulis. Yakni sebagai mata pena.

Paparan di atas adalah illustrasi klasik yang masih tetap ngetrendy saja. Itulah sebabnya, meskipun sudah ada piranti komputer, gedung pusat salah satu koran yang ada di Surabaya, tidak dinamakan “Graha Komputer”, tetapi “Graha Pena”. Ini tidak lain adalah sebagai ajang pengingat jasa para pahlawan pers yang kala itu menulisnya dengan pena lengkap dengan tintanya. Tidak mokal pula bila wartawan dan tukang cetak koran kala itu mendapat julukan “si kuli tinta”. Pertama si wartawan menulis berita dengan pulpen yang berisi tinta. Kedua, para pekerja (tukang cetak) yang ada di percetakan, juga berkutat dengan seperangkat hand-pres nya yang sekujur tubuhnya turut belepotan dengan tinta. Hanya karena pergeseran jaman dan kemajuan teknologi, sehingga dekade sekarang mendapat panggilan “si kuli disket”. Namun sejatinya, adalah sama. Sama-sama terjun di bidang formulasi kepenulisan yang tidak bisa dijauhkan  dari tinta.

Yang menjadi pertanyaan, akankah para pejabat masih takut terus dengan makhluk yang bernama “wartawan” ?. Kalau mereka (para pejabat itu) tidak salah, ngapain harus takut ?. Bukankah sudah ada paunen-unen “BERANI KARENA BENAR, TAKUT KARENA SALAH”. Bisa jadi karena dengan “ketidak-takutan” nya itulah sosok wartawan menjadi mitra dalam kerjanya. Mengerti sendiri kan, bahwa ucapan Napoleon itu benar-benar terwujud ?

Dan tanggal 9 Februari 2006 ini kita peringati sebagai Hari Pers Nasional, setelah para insan pers itu sendiri berjuang melalui idealismenya atas nama rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pengambilan angka 9 Februari itu sesungguhnya diambil dari hari kelahiran organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di kota Solo – Jawatengah. Sebagai penguatnya, maka Keppres Nomor 5 tahun 1985 menetapakan bahwa tanggal 9 Februari sebagai hari Pers Nasional, yang kini tahun 2006 sedang ber-ultah ke 60.

Dalam menapaki usianya yang semakin lama semakin dewasa, tentu mengalami pasang surut, baik dari segi yang finansial maupun dari segi idealismenya. Salah seorang tokoh senior di bidang kewartawanan, Rosihan Anwar selalu mengontrol adanya pesan-pesan moral dan roh idealismenya. Bahwa tugas pers adalah mencerdaskan kehiduapan bangsa. Dogma ini tidak boleh ditawar-tawar lagi. Selengkapnya Rosihan Anwar menuturkan : “Seorang wartawan muda mengingatkan kepada saya, bahwa dalam GBHN tugas pers Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Betul !. Tapi jauh sebelum ada GBHN, jauh sebelum berdirinya republik ini dan adanya TNI, tugas pers sudah demikian. Dan di masa mendatang tugas itu tetap sama yaitu : mencerdaskan bangsa” (Majalah Gatra Edisi Februari 1996).

Bila kita menengok ke belakang, betapa jerih payahnya orang-orang yang melibatkan diri pada dunia persuratkabaran (baik secara pikiran maupun teknis pembuatan). Sejarah mencatat, bahwa bukti-bukti historis  pada jaman Prasejarah dilihat dari hasil karyanya. Ketika itu yang paling menonjol adalah segala peralatan (kapak, senjata, pisau dll) terbuat dari batu. Oleh karenanya, pada zaman Prasejarah itu, desebut dengan Zaman Batu. Sementara di sisi lain, pada saat itu belum ada manusia yang mengenal huruf satupun.

JURNALISTIK DARI MASA KE MASA

Kemudian memasuki zaman Sejarah (yang disebut post factum), ditandai adanya satu kelompok manusia yang sudah mengenal bentu huruf maupun tulisan. Hal ini bisa kita lihat adanya prasasti (batu bertulis), pahatan-pahatan huruf dan ukir-ukiran atau relief pada candi , dll. Perkembangan tulis-menulis berikutnya, tidak lepas dari warga Romawikuno yang menggunakan media informasi kerajaan di tengah alun-alun yang diberi nama “acta diurna”. Papan info yang kemudian terkenal dengan nama “Journal” (bahasa Indonesia : Jurnal) itu menjadi bubak alas adanya jurnalistik sebagaimana yang kita kenal saat ini.

Lain lagi bila kita menengok sepak terjang dunia pers di Timur Tengah. Aktifitas jurnalistik yang mayoritas dari suku Bani Israil itu biasanya kaum Yahudi dan Nasrani menorehkannya wahyu Illahi dalam lembaran-lembaran papyrus. (sebangsa daun pandan/lontar). Bahkan Zaid Bin Tsabit yang kesohor sebagi sekretarisnya Nabi Muhammad juga menulis wahyu kalam Illahi itu pada helai kulit-kulit binatang, pelepah kurma, bebatuan dsb.

Hadirnya sosok Tsa’i Lun dari negeri Cina lantas memperkenalkan ketrampilannya membuat kertas yang bahan bakunya dari bambu yang memang banyak tumbuh di negeri Cina itu sebagai media penulisan warta jurnalistik. Kemudian pada abad ke 14, Johan Gutenberg menciptakan mesin cetak. Sejak itulah dunia persuratkabaran berkembang pesat hingga saat ini (Koran Pak Oles Edisi 74/Februari I 2005).

Berangkat dari para penjasa tersebut, kita tentu tidak akan tega bila idealisme dalam dunia pers tidak dijunjung tinggi. Materi-materi tulisan yang mengandung edukasi dan bertujuan untuk pencerdasan masyarakat nampaknya banyak dikesampingkan. Padahal masyarakat pembaca adalah sekian kali dari asset pendukung pembangunan dalam republik ini.

Bukankah mantan presiden Amerika Serikat, Eissen Hower pernah berorasi menyampaikan sesumbarnya : “Berilah saya 26 prajurit. Dalam waktu singkat saya akan menguasai seluruh dunia”. Ungkapan yang meluncur dari mulut Eissen Hower itu memang terkesan sombong bin angkuh dan takabbur. Namun apa boleh buat, bila kedalaman makna itu ditangkap oleh insan  pers, maka akan berwujud dengan pembuktian. Sebab kiasan 26 prajurit itu bisa dimaknai dengan  26 huruf yang tersedia pada alfabet A sampai Z. Maksudnya :  barang siapa yang dapat menguasi tulisan, dijamin akan mampu menguasi dunia. Sebab dengan tulisan itu pula kita dapat mempengaruhi masyarakat pembaca. Opini publik terbentuk yang kemudian tersalur, sehingga jendela dunia terbuka.

Bangsa/negara itu maju dan tidaknya di lihat dari segi penerbitan media massanya. Di luar negeri semacam Australia, Nederland, Amerika dll. prasasat  setiap jam terbit koran edisi baru. Jadi perkembangan dunia setiap jamnya bisa dilihat melalui jendela informatika. Sebab sudah memiliki sistim penerbitan yang canggih. Para peminat baca, dipersilahkan mengambil sendiri media cetak yang telah tersedia di tempat-tempat umum (misalnya di halte-bus dll), lebih ringannya diberikan secara gratis. Kebiasaan membaca bagi masyarakat yang maju dan berkembang adalah sudah menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda-tunda  lagi. Contoh, bila ada kesempatan nganggur sedikit saja, misalnya di atas bus, mereka gunakan untuk membaca. Lain lagi masyarakat Indonesia : baru saja duduk di atas bus langsung ngantuk/tidur. Inilah pemandangan menuju kebodohan.

Sinergi-sinergi “kegelapan” mengusik dunia pers ketika Indonesia di masa orde baru, lantaran ketatnya aturan kala itu. Betapa tidak, di bawah kendali departemen penerangan, yang seolah-olah semau gue mengadakan pengetatan dan atau pengebirian di bidang jurnalistik. Untuk mendirikan industri persuratkabaran saja harus melalui birokrasi yang berluku-liku disertai biaya yang tidak sedikit. Manakala ada penerbitan yang sudah mapan dan dipandang jaya, terpaksa dengan sabarhati harus gulungtikar, karena terjaring tidak punya SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) ataupun SIT (Surat Ijin Terbit).

PENCERDASAN ANAK BANGSA  DAN HARGA KERTAS

Namun alhamdulillah, dengan diangkatnya Bapak Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie sebagai orang nomor satu di Indonesia dengan kabinet reformasinya, yang nota bene sangat menghargai formulasi kepenulisan dan kebebasan pers. Dalam kurun waktu yang amat sangat singkat sekali, bermunculan beberapa penerbitan dengan segala tajuk, tema dan ciri khas maupun trade mark-nya masing-masing. Sebab kini tidak perlu susah-susah mengurus SIT maupun SIUPP lagi. Cukup punya Yayasan dan ada uang untuk modal, maka edisi per-edisi itu bisa ternikmati.

Sayangnya, kebebasan pers saat ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dengan segala kecerdikannya mereka menggunakan kesempatan melalui kebebasan untuk menerbitkan koran/tabloid/komik sebagai bahan bacaan yang merusak moral. Tabloid-tabliod kuning yang mengeksploitasi berbagai bentuk kemaksiatan, khususnya tulisan-tulisan yang sangat lekat dengan hal-hal yang berbau pornografi, misalnya: Buah Bibir, Hot, Hit-Hot, Extra, Exlile, dan Mingguan Top. Ada pula media cetak serupa yang hanya mengutamakan foto/gambar ketimbang tulisan atau beritanya, misalnya : Blitz yang kebanyakan menampilkan foto-foto bugil mancanegara.

Termasuk yang bikin miris hati dan pikiran kita akhir-akhir ini adalah : akan terbitnya majalah Playboy. Majalah yang besimbul kepala kelinci itu sudah mendapat lisensi aslinya yang berbahasa Inggris. Kekhawatiran itu bukan tidak mungkin, karena melihat aslinya saja majalah tersebut menampilkan cover-cover yang syuur, termasuk foto-foto di dalamnya yang amat sangat seronok. Bisa jadi Playboy ala Indonesia nanti juga akan mengekspose cewek-cewek bangsa timur untuk tampil sebagai cover maupun berita bergambarnya.

Beredarnya tabloid kuning mestinya mengusik pemikiran aparat yang berkompeten untuk bergerak dan bertindak. Dalam hal ini Dinas Infokom (Informasi dan Telekomunikasi,  terlebih-lebih pada kabinet Indonesia Bersatu-nya SBY kini ada Kementrian Informasi dan Komunikasi yang menjadi sebuah Departemen tersendiri), untuk segera melangkah sebelum dampak negatif dari tabloid porno itu merebak. Sementara buat para agen dan pengecer, seyogyanya tidak hanya mengedepankan keuntungan material saja, namun perlu mempertimbangkan kepentingan moral spiritual. Termasuk dewan redaksi yang dicap sebagai insan-insan pers yang terdidik, hendaknya bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan. Sebab masih amat sangat banyak sekali tulisan-tulisan menarik yang laku-jual. Untuk itu keberadaan mass-media sebagai sarana informasi, komunikasi dan edukasi hendaknya dilaksanakan sepenuh hati.

Pemerintah sendiri secara hukum dan tata aturan dalam  persuratkabaran, tidak berkutik untuk membredel penerbitan pers samacam Playboy. Sebab hal ini terkait dengan asbabul nuzul kebebasan pers itu sendiri. Di sinilah terjadinya dua permasalahan yang bersifat dilematis (sulit terpecahkan), yang siapapiun orangnya yang duduk dalam pemerintahan akan merasa kesulitan dalam  mengambil tindakan.

Maka salah satu solusi terbaiknya adalah berangkat dari hati ke hati. Silahkan  menggunakan kesempatan berkebebasan pers sebagai momentum untuk berekspresi, tapi yang bersifat positif, original, factual, proporsional dan edukasional. Jalinan kerjasama dalam penegakan dan atau pelurusan karya monumental ini dapat dimulai dari pihak kepolisian yang telah berhasil mensweeping VCD porno. Di sisi lain kepolisian sudah menindak VCD porno tapi mengapa hingga detik ini kepolisian tidak menindak tabloid porno ?. Alangkah indahnya bila giliran berikutnya mengulang sukses mengadakan sweeping terhadap kios-kios koran/agen-agen majalah, toko buku dan persewaan komik murah-picisan yang ada, yang terkadang cara mendapatkan dan pembeliannya pun lebih gampang dan lebih murah ketimbang bahan bacaan yang berkwalitas (Diacu Dari Tabloid SeMAR Interupsi, Edisi VII/Juli 2003)

Satu lagi yang tak dapat kita pungkiri, adalah harga dari bahan bacaan yang bermutu itu sendiri yang memang terkadang tidak terjangkau oleh masyarakat kita. Sampai-sampai produsen koran saja harus mengirit kertasnya, dengan cara memperamping ukuran korannya. Sementara para konsumennya juga berlomba-lomba sambat : jangankan untuk beli koran yang dulunya berukuran besar dengan harga murah. Apalagi kini diperamping dengan harga yang sama bahkan lebih mahal. Atau mau beli majalah/buku/tabloid atau bahan bacaan lain yang amat penting untuk diketahui. Wong untuk makan nanti siang saja, baru mencari di pagi harinya.

Anehnya para ABG kita (Anak Baru Gede) sudah banyak yang teracuni fenomena tabloid panas itu, meski orangtuanya jungkir-balik mencari nafkah untuk sekolah. Para remaja — yang harus selalu mendapat pantauan ortu—hendaknya selektif dalam memilih bahan bacaan. Jangan sampai sudah kadung keluar uang beli bacaan (Koran, Tabloid, Majalah, Komik dll) justru hasilnya mencelakaan generasi muda sendiri. Padahal orangtua sudah banyak keluar tenaga, pikiran dan dana demi putra/putrinya.

Makanya tidak salah bila ada orang tua/wali murid yang juga mengumbar nestapanya, seputar mahalnya buku-buku pelajaran putra/putrinya. Apalagi buku-buku pelajaran di era kali ini adalah ‘dosis sekali pakai’. Sebab semua matapelajaran menggunakan buku LKS (Latihan Kerja Siswa) yang berdalih dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) maupun berlabel KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Yang tentu di dalamnya memuat beberapa bentuk soal yang harus dikerjakan (diisi) saat itu juga. Sehingga adik kandungnya yang akan menggunakan buku LKS kakaknya sudah tidak bisa lagi. Maka jalan satu-satunya  adalah wajib membeli lagi. Karena di pasaran tidak ada, maka seyogyanya  beli saja pada gurunya.

Sesungguhnya kita tidak bisa menanyakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Sebab hal ini adalah sudah menjadi ‘lingkaran setan’, bagaikan ‘mata rantai’ yang saling beratautan. Mana ujung awal dan mana pangkal akhir, tidak bisa dideteksi. Hanya saja kita pernah ingat ketika jaya-jayanya orde baru, pernah orang-orang yang berkompeten di dalamnya melambungkan harga bahan baku kertas. Pulp yang berasal dari kayu olahan pernah dikuasai. Alat-alat perkantoran dan tulis menulis yang sedianya didropkan kepada sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan,  diproduksi besar-besaran dengan kwalitas yang tidak layak pakai. Lalu timbul dilemma baru : kebodohan massa atau mahalnya harga.

Maka harapan penulis lewat kesempatan ini adalah, meski berpijak pada sinergi-sinergi ekonomi dalam industri pers yang tentunya berprofid oriented, namun tetap menjaga nilai keterjangakauan rakyat untuk menikmati hasil industri itu. Insya-alloh berangkat dari dua dimensi tersebut (pendidikan dan kemurahan harga) sekali dayung: dua, tiga pulau terlampaui. Begitu terbit masyarakat bisa membeli. Maka pencerdasan otak, dan penjernihan hati akan terlakoni. Kepada insan pers, Selamat berulangtahun ke 60.

(Ahmad Fanani Mosah, Adalah Mantan Redaktur Sebuah Tabloid, Kini Guru SMP Negeri 3 Babat Sebagai Penulis dan MC Freelance)