Juli 27, 2024

SMP NEGERI 3 BABAT

Sekolah Adiwiyata Nasional

Artikel Penulis Freelance Ahmad Fanani Mosah

HOMESCHOOLING :

Transformasi Pendidikan Maju Kena Mundur Kena

Oleh : Ahmad Fanani Mosah

(Penulis Adalah Humas Lembaga Pendidikan Cipta Idaman Insani,  Sawo-Babat-Lamongan)

PROGRAM Homeschooling telah digulirkan pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu. Dari itu proses pembelajaran yang dilakukan di rumah sendiri ini boleh dibilang “barang baru” di dunia pendidikan Indonesia. Namun hingga kini masyarakat dan orang-orang yang terkait dengan formulasi keilmuan dan kependidikan, belum ada yang meresponnya secara utuh. Padahal tata administrasi dan birokrasinyanya sangat mudah ditempuh.

Di luar negeri proses pelaksanaan homeshooling mengacu pada kegiatan pemindahan ilmu yang diberikan oleh orang tua di rumah atau orang dewasa lain kepada anak didiknya. Dan ini sudah berlangsung sangat lama sekali. Negara setempatpun mendukungnya, bahkan murid-murid produk homeschool juga diperbolehkan  mengikuti ujian formal yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hasilnya tak tanggung-tanggung : melebihi di atas rata-rata nilai pelajar sekolah formal.

Jadi proses pendidikan homeschooling bukan hanya sekedar belajar di rumah saja, ibarat sekolah bohong-bohongan. Bukan ! Juga bukan karena orangtua ogah-ogahan mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. Tidak !. Tapi proses pelaksanaannya merujuk pada pembelajaran formal, terstruktur dengan jelas, sistimatis, pembelajaran yang terjadwal  dan mengikuti kurikulum standar.

Wal hasil orangtua atau orang-orang yang terlibat di dalamnya disiplin mengelola proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di rumah. Tentunya dengan fasilitas yang memadai, tersedia layaknya sarana dan prasarana representatif bagaikan di suatu sekolah resmi. Bagi orangtua yang mampu, akan menyediakan laboratorium mini, media pembelajaran,  yang canggih dan tenaga pengajar yang profesional.

Dengan demikian kredibilitas dan kapabilitas yang tinggi  akan diminati oleh masyarakat yang lain. Tidak menutup kemungkinan, “acara” semacam ini akan mendapat animo peserta yang besar tanpa diundang. Mungkinkah hal ini akan terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya bernotabene sulit memajukan kegiatan pendidikan. Sehingga kebutuhan pendidikan dinomor-belakangkan.

Sementara di pihak (orangtua) lain : bisa menyekolahkan putra-putrinya dijenjang pendidikan formal saja, sudah untung-untungan. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan  uborampennya anak-anaknya dalam bersekolah, orangtua/walimurid berjanji akan membayar 3-4 bulan yang akan datang, gara-gara menunggu panen jagung,   tembakau atau hasil sawah ladang lainnya.

Terkait dengan proses homeschooling, pemerintah sendiri sudah memberi angin segar : dipersilahkan menjalankan di lingkungan keluarga. Tapi jangan diam-diam. Minimal melaporkan kepada Dinas Pendidikan Tingkat Kabupaten. Sehingga kontinyuitas akan tetap terkontrol dan terkendali. Dengan harapan di akhir tahun anak-anak dapat mengikuti ujian negara dan berijasah resmi dari pemerintah.

Tampaknya kemudahan-kemudahan yang divasilitasi pemerontah semacam ini yang belum mendapat tempat di hati masyarakat. Pengelola (baca : dalam hal ini orangtua/walimurid) hanya memandang sebelah mata. Mereka hanya dihantui jalur-jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Padahal mereka belum pernah mencobanya.

Sesungguhnya ada beberapa hal yang menguntungkan bagi orangtua/walimurid yang menyelenggarakan homeschooling, kalau toh itu terlaksana dengan mantap dan terkendali.

Pertama : Orangtua yang tugas & pekerjaannya berpindah-pindah akan serasa mudah bila mendirikan homeschooling, dibanding menyekolahkan putra-putrinya dari satu sekolah ke sekolah lain. Secara psikologis si anak harus berkali-kali beradaptasi setiap memasuki lingkungan baru.

Kedua : Interaksi guru (pembimbing/pembina/pendidik) dengan anak dapat terjalin dengan harmonis. Bandingkan bila di sekolah, hubungan guru dengan murid secara individual dengan jumlah anak 40 – 45  tidak dapat terlaksana dengan maksimal.

Ketiga : Sistim belajar di rumah bisa memberikan perbandingan jumlah yang ideal antara pendidik dengan si terdidik. Dengan demikian bisa terjadi kesepakatan kapan dan di mana terlaksananya proses KBM, serta materi pembelajarn apa yang harus lebih diperdalam.

Keempat : Pemantapan iman dan aqidah akan lebih diperkuat. Asal tahu saja, bahwa di luar negeri sistim homeschooling langsung dihadiri oleh pendeta atau pastur dari sebuah gereja sebagai pengelolanya. Maka tidak salah bila homeschooling di luar negeri rata-rata bernuansa Kristen.

Kelima : Anak akan terhindar dari kontaminasi pengganggu/pengaruh negatif, semisal narkoba, ketemu perusuh di tengah jalan, kena bujuk rayu teman-temannya karena lepas kontrol dari keluarga, dll.

Keenam : Keharmonisan keluarga akan lebih terjamin dan lebih kekal. Contoh sang kakak membacakan cerita kepada adiknya. Sang paman dan tante membimbing keponakannya dan seterusnya.

Ketujuh : Pemberdayaan keluarga profesional.  Famili atau siapa saja yang ada kedekatan dengan pengelola homeschooling, asalkan mempunyai semangat dan profesionalisme yang tinggi bisa dimanfaatkan tenaga dan pikirannya. Dengan demikian diharapkan adanya kwalitas lebih dibanding sekolah “betulan” pada umumnya.

Hal ini terkait dengan betapa pentingnya pendidikan dalam keluarga. Sebab para ahli di bidang paedagogis sendiri mengatakan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga adalah yang pertama dan paling utama.  Tatapan mata hati dan kata hati yang mula pertama dilakoni bayi semenjak lahir adalah sang ibu. Pertanda orangtua dan melalui pendidikan keluarga (di rumah)  memegang peranan paling penting dan paling mendasar bagi kelangsungan hidup si anak menuju masa depan. (Kiriman Ahmad Fanani Mosah, Humas Lembaga Pendidikan Cipta Idaman Insani, Sawo-Babat-Lamongan)