Juli 27, 2024

SMP NEGERI 3 BABAT

Sekolah Adiwiyata Nasional

Cerpen

EMPUT : AKSIOMA SEPOTONG NAMA

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

                DESING kendaraan bermobil disertai asap menyeruak, menambah panasnya kota metropolitan. Suasana semacam ini aku rasakan setiap hari.  Lantas terlintas di benakku : kapan  bisa kutemui udara segar seperti tatkala aku masih di dusun udik, perkampungan Sumengko. Di lereng gunung itu aku dibesarkan. 

            Dengan mengantongi ijazah SMA aku mencoba memperbaiki nasib di ibukota. Entah berapa sudah pabrik dan perusahaan yang aku tawari tenagaku. Tak satupun yang membutuhkan-ku.  Aku menyadari, memang namaku tidak terkenal. Berhari-hari sudah aku menyusuri jalan-jalan dan trotoar kota besar. Dalam kepayahan dan kehausan itu aku terlelap dalam lamunan di bawah jembatan penyeberangan.

Sudah tak kutemui lagi para tetua memanggul cangkul, mengempit sabit. Kangen aku pada si mbok-mbok bersanggul menjinjing wakul.  Rasanya aku ingin ngobrol lagi dengan kerbao-kerbao milik-ku yang asyik merumput di tepi danao. Begitu waktu surup tiba, bocah-bocah dan pak tani itu membersihkan diri di sendang pancuran. Gemericik air adalah musik yang asik. Kemerosak dedaunan adalah orkestra yang tertata. Lenguh sapi adalah vokal yang tak pernah sepi. Sapu lidi yang meraung-raung kuanggap blender melodi. Suara Jangkrik ngerik kuanggap siter yang dipetik. Biola gesek di tempat asalku adalah kodok ngorek. Ayunan cangkul pak tani bagaikan penari yang sedang beraksi. Bunyi kemelotak tukang kayu ibarat garputala mendayu-dayu. Suara lesung adalah ketukan langsung. Gagahnya gunung bermakna back-ground panggung. Itulah konser alam yang tak terlupakan. Kini aktivitas pedesaan dan suara alam itu tak bergaung-gema. Berita yang kuterima dari kampung halaman, banyak para pemborong yang sedang  mengadakan penggurukan jublang. Hutan jati banyak yang ditebangi. Hamparan sawah ladang sudah menjadi permukiman. Rawa dan waduk telah menjadi pertokoan.

Di tengah bisingnya kota Jakarta itu aku ditakdirkan menjadi pengamen jalanan. Medianya adalah tamborin usang. Dengan vokal pas-pasan itu aku  ngamen garingan. Entah nasib apa yang menyelimuti kami, sehingga tanpa sengaja  kami bertemu dengan komunitas pengamen yang notabene para remaja dan pemuda gelandangan. Diantara teman-teman KPJ (Komunitas Pengamen Jalanan) itu, aku dianggap yang paling intelek.  Ya, intelek menurut pandangan mereka. Padahal toh sama-sama bego’nya. Secara spontanitas aku mencoba memandunya. Sepak terjang KPJ  yang kupimpin tak selancar yang kuimpikan. Ada saja kendala menghadang. Akan tetapi kami berupaya bagaimana agar kendala itu bisa terkendali. Dan yang paling penting bagaimana agar teman-teman satu group itu bisa merokok dan ngopi setiap hari. Terobosan demi terobosan kami lalui. Masuk dapur rekaman adalah idaman kami. Namun apa boleh buat, nama kami tidak terkenal. Baru menyodorkan lamaran saja sudah banyak yang menjegal. Ada yang pura-pura menawarkan jasa. Ujung-ujungnya, ia minta harta. Bila kami dapat job dan order, ia sanggup menjadi menejer. Tak jarang, sesama artispun saling jegal, agar pesaingnya gagal.

            Apatah begini, jalan menuju sukses. Ternyata janji tinggal janji. Dan rata-rata di ruang lobi pada setiap kantor TV ada saja orang yang berlaku begini. Tawar menawar harga  untuk bisa antri. Antri disorot kamera harus punya banyak koneksi. Jika William Shakespere berujar : “What is the name” (apalah arti sebuah nama), itu adalah dalam rangka memberi motivasi (semangat) bagi orang-orang yang namanya tidak terkenal, semacam diriku. Ya, sebab saat ini yang menjadi tolok ukur orang adalah nama besar. Dan betapa sulitnya mengukir nama itu. Guruku, orangtuaku tak pernah menyematkan namaku di keramaian orang. Bahkan ketika aku bersama-sama dengan teman sekolahku, guruku melupakan-ku begitu saja. Guru-guru itu tidak hafal 100 persen nama-nama anak didiknya. Yang beliau hafal adalah anak-anak tertentu. Yang paling pinter, yang paling goblok, yang paling  nakal, yang paling ganteng, yang paling cantik, yang paling kaya orangtuanya, yang paling melarat, dsb.

Sementara aku adalah sekelompok murid yang tidak termasuk kategori di atas. Guruku tidak pernah memanggilku untuk urusan tertentu. Yang sering dipanggil adalah teman-temanku yang punya kriteria tertentu. Adapun aku hanyalah sebagai pendamping dan penggembira bagi para murid yang senasib, bila mereka diutus guru. Meski demikian, aku tetap senang masih bisa menyatu dengan teman-temanku saat itu. Sampai sekarangpun mereka (guru & murid) saling mengabarkan. Kecuali aku yang tak punya media komunikasi. Juga tak punya kepiawaian untuk berkorelasi dengan para kolega dan relasi. Aku menyadari bahwa aku memang tak punya prestasi. Sebab memang yang menjadi penilaian adalah gemleger yang tampak jasmani. Sedangkan yang tersembunyi dalam hati : jiwa, rohani dan sanubari sama sekali tidak dinilai.  Di mata guru-guru sekolah dasar itu aku diabaikan. Sampai di tingkat menengah pertama, dan ataspun, namaku tidak terkenal. Apalagi baru duduk di bangku kuliah seumur jagung, aku sudah tidak betah dan tidak krasan. Terpaksa aku harus hengkang dari kampus perkuliahan.

 Persaingan prestasi dan non-prestasi lebih ketat tampaknya.  Biarlah, tidak mengapa guru-guruku tidak mengenalku. Ada hikmahnya : bila ketemu (berpapasan) di luar jam sekolah, tidak sungkan. Tidak menyapa, tidak apa-apa. Toh beliau tidak kenal, siapa aku. Aku faham, untuk menjadi terkenal tidak semudah membalikkan telapak tangan. Atau hanya bilang “Bim salabim aba kadabra, tolong ya, Pak Tarno dibantu ya,… mau jadi apa,…bra…bra…bra…!!”.

Iwan Fals yang suaranya tidak fals itu bermula dari pengamen jalanan. Rhoma Irama yang sudah banyak irama itu harus bernyepi-nyepi dan bersusah-susah dulu, baru tenar kemudian. Nama Ahmad Dani dan Maya yang selalu meroket itu memang harus didandani, baru masuk ke dunia maya. Aktor Elmanik hidupnya penuh pernak-pernik. Termasuk WD Mochtar dan Machicha Mochtar, tak berhenti berichtiar. Sukses dari artis menjadi bupati, Rano Karno tidak boleh sembrono. Aktris cantik Ayu Azhari, harus selalu merawat tubuhnya agar tetap ayu setiap hari. Host presenter Arie Untung, sebelumnya tidak langsung beruntung. Bintang film Ria Irawan, sebelum bergembira-ria, terlebih dahulu mendapat kesedihan.

Untuk itu sampai saat ini, walaupun namaku tidak terkenal. Aku akan tetap tabah dan tenang. Untuk apa terkenalnya nama, jika menyangkut  pada hal-hal yang negatif, semacam Gayus Tambunan, yang hartanya tetap tambun saja, meski orangnya dipenjara; wong penjaranya mewah. Ngalah-ngalahi hotel berbintang. Ada lagi orang yang dananya terus bertambah, yaitu Dhana Widyatmoko. Atau para teroris yang bikin hati miris. Percuma tak berguna bila tenarnya itu banyak kecaman. 

Justru dengan ketidak terkenalnya namaku, aku menjadi terkenal. Ya, terkenalnya namaku, gara-gara aku tidak terkenal. Sehingga suatu saat aku boleh menyampaikan sumpah serapahku : “Wahai Ummat Manusia, Ketahuilah Bahwa Aku Adalah Orang Yang Paling Tidak Terkenal Di Dunia”.

Dalam angan-anganku yang kosong itu, aku berencana akan balik mudik ke dusun kelahiran. Daripada di kota yang tak membuahkan hasil. Aku yakin bahwa yang senasib denganku ini masih banyak. Hanya saja mereka malu jika kegagalan itu terbaca orang. Mereka gengsi, dari kota kok masih melarat. Khawatir dicemooh orang : sama-sama melarat enakan di desa. Nggak tekor.

Okelah kawan, kita seragam. Saat ini kita boleh gagal. Tapi aku nggak mau bikin jama’ah kegagalan. Efeknya bisa membuat anggotanya nelongso. Bila nggak kuat imannya, bisa-bisa bunuh diri atau minimal menambah nafsu lawwamah dan serakah. Karenanya aku tetap berikhtiar. Jika sudah mendapat pangupo jiwo, aku akan selalu nerimo ing pandum.  Untuk itu siapa tahu esok hari lain waktu kita berhasil, kawan. Andai suksespun aku nggak bakalan bikin komunitas orang-orang sukses. Sebab dampak negatipnya adalah akan membuat orang itu ongkang-ongkang, gumede dan sombong.

Dengan tegar disertai mata nanar, aku menyusuri kampung halaman. Kulihat banyak perubahan fisik dan bangunan,  namun etika orang-orang di sekitarku masih tetap seperti yang dulu. Terbukti dua, tiga orang yang berpapasan denganku ketika aku berjalan kaki dari stasiun menuju rumah di dusun,  mereka menyapaku. Tentu aku membalasnya. Dalam benakku, aku berkata : berarti wajahku nggak berubah. Terbukti mereka masih mengenalku. Ya, mereka mengenalku sebatas ketidak-tenaranku. Lain tidak !.

 Selama aku di kampung yang nun jauh di udik, alam pikiranku terus berproses. Bukankah di pedesaan banyak komoditi non migas ?. Hasil sawah ladang orangtuaku  yang berupa jagung, kedelai, beras, ketan dan cakul orean yang selama ini tidak berubah wujud, dijual begitu saja sebagian. Sementara sebagian yang lain untuk makan sehari-hari oleh seisi padepokan keluarga. Inspirasi dan ilham spontan bernalar dari butiran-butiran jagung yang menggelundung dari karung, jatuh ke ubin lempung. Bersamaan dengan itu terbayang kegiatan kakek-nenek yang sudah almarhum, menggoreng jagung di atas wajan nang-nangan. Kini orang bilang sangrai. Menggoreng tanpa minyak. Alias goreng garingan. Sementara si kakek mendeplok jagung itu, dengan trengginasnya. Kemudian hasil deplokan itu diayak. Jadilah serbuk jagung yang super lembut. Orang dulu menyebutnya EMPUT. Rasanya gurih-gurih sedap mengandung manis. Gurih sedap itu adalah aroma asli jagung, manisnya adalah serbuk gula pasir yang sudah ditumbuk bersamaan dengan si jagung tadi di dalam lumpang besi. Lebih orisinil dan nikmat lagi,  semua bahan alami. Tanpa bahan pengawet dan zat kimiawi.

Tanpa   ba – bi – bu ,  aku dengan lincahnya meniru gaya kakek-nenekku. Kutumbuk sendiri, kuayak sendiri. Kukemas sendiri, kuedarkan sendiri. Uang hasil karya yang unik, langka tapi ada itu untuk seluruh keluarga. Lambat laun, hari demi hari hingga pergantian tahun “kreatifitas”ku yang tiada taranya itu mencuat ke permukaan. Sudah mulai terkenal, nih….ye…?. Aku tidak mau merasa besar hati begitu saja. Tidak sedikit tamu yang datang berkunjung ke pesanggrahan kami. Ada-ada saja maksud dan tujuan tamu yang bertandang menemui diriku, sebagai pengganda ulang jajanan EMPUT peninggalan nenek moyang, sebuah snack tempo doeloe.

Baru-baru ini ada sekelompok tamu dari sebuah perusahaan bank yang menawarkan permodalan. Untuk tamu yang ini, jujur aku belum bisa menjawabnya dengan lantang.  Apa iya, apa tidak. Bisakah aku mengembalikan modal berikut bunganya dengan lancar ?. Ada juga orang-orang yang sanggup menjadi menejer usaha kami. Bahkan ada yang sudi sebagai bapak angkat perusahaan kami.  Padahal sesungguhnya usahaku itu tak layak disebut perusahaan.

Suatu ketika ada orang yang datang mertamu ke rumah kami dengan wajah sangat penasaran. Menanyakan tentang perusahaan yang aku geluti, katanya. Saya jawab, bahwa saya tidak punya perusahaan. Si tamu itu masih tetap ngeyel : “Home industri…., gitu lho…!” kata tamu mendunungkan.

“Kok besar amat istilahnya” sergahku. “Aku nggak punya industri, Pak !” lanjutku juga dalam rangka mendunungkan persoalan pada si tamu aneh itu.

Sudah merupakan adat di rumah kami, setiap ada tamu, siapapun orangnya pasti kami suguhi makanan/camilan kebanggaan kami, EMPUT JAGUNG. Biarlah orang bilang ora umum.  Itulah cara kami menghormati tetamu, dengan sesuatu yang kami bisa dan punya.

“Lha… ini yang saya cari !” ujar tamu itu spontan.

“Terus tujuan Bapak kesini mau apa  ?” tanyaku

“Ya, mau kulakan EMPUT !” jawabnya tegas meyakinkan. Katanya pula : “Lha ya ini, yang namanya home industri itu”.

“Ah, Bapak terlalu menyanjung kami. Wong ini EMPUT saya deplok sendiri, saya jual sendiri, kok !” balasku. “Monggo,…monggo… disambi, Pak. Lha ini unjukannya, biar nggak sereden”. Serta merta tamu itu menikmatinya dengan penuh penghayatan. Suasana hening beberapa saat. Sebab orang makan EMPUT itu tidak boleh ngobrol. Dan harus tersedia air minum. Demi tamu, aku juga ikut-ikutan ngemil EMPUT bikinanku sendiri. Walaupun toh sebenarnya aku sudah mblenger. Dengan lincahnya  tamu itu makan, minum, makan, minum. Aku juga mengimbanginya. Tak apalah, toh masih enak juga.

“Ya sudah, pokoknya saya kulak dalam jumlah besar” lanjut tamu itu beberapa saat usai ngemu EMPUT. Setelah itu sang tamu pamit pulang.

Garapan ini aku syukuri. Betapapun ribet bila dilakoni. Sebab rintisan awal-awal  kemarin aku masih menggunakan tenaga manual. Bila dapat order besar, apa nggak sempal bahuku hanya untuk menumbuk jagung, belum lagi mengayaknya. Kini prinsip efisien dan efektifitas akan aku terapkan. Dalam dua, tiga hari aku harus mendapatkan mesin giling, untuk melembutkan jagung-jagung yang akan kami ‘perkosa’. Toh di lumbung belakang masih ada  beberapa glangsing gabah, yang bisa aku uangkan untuk beli mesin selep kecil-kecilan.

Lama-lama usahaku membesar. Penikmatnyapun dari tetangga sekitar, hingga kota-kota besar. Tidak jarang orang-orang sekampung sendiri juga banyak yang beli di rumah kami. Rata-rata mereka malas mendeploknya. Apalagi musim penghujan begini, sambil memandang hujan ngriceh lebih nikmat makan EMPUT minum teh.

Dalam waktu beberapa kejap setelah pengadaan mesin giling, EMPUT bikinanku lebih merambah pasar. Di rumah sudah kupasang orang. Sementara aku bagian mengirim ke kota-besar dan metropolitan. Sembari bernostalgia dengan teman-teman di terminalan, kubawakan oleh-oleh EMPUT nyamikan tinggalan nenek moyang. Kini tak jemu-jemunya aku bersyukur kepada Tuhan. Walaupun namaku tidak terkenal, tapi EMPUT panganan alternatif itu cukup menjanjikan. Sebagian kujual di sana.  Produksiku semakin terkenal. Laris manis diserbu banyak orang. Biarlah namaku tidak tenar, asalkan EMPUT-ku terkenal. ( = = = = = = = )

BERTAHAN DALAM KESUNYIAN

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

          OBSESI Kepala desa terpilih itu betul-betul berani. Pak Burhanudin, kades yang baru saja dilantik itu menggunakan power otoritasnya dalam memperbaharui menejemennya. Kebijakan barunya itu ada yang sedikit nyeleneh. Aku diangkat sebagai Kaur Kepemudaan. Buntutnya banyak warga yang iri padaku. Padahal aku tidak punya pamrih apa-apa.

          Siapa orangnya yang tidak tersentak. Tanpa ba-bi-bu, orang nomor satu di desa itu menyampaikan keputusannya  lewat temu warga di balai desa. Akupun menyanggahnya, : “Ngapunten Pak Inggi, bukankah di desa ini sudah ada Karang Taruna sebagai wadah yang membidangi kegiatan remaja dan kawula muda ?”.

          “Justru itulah, karena Karang Taruna kita jalan di tempat, maka malam hari ini saya rombak, masuk pada struktur baru yang sejajar dengan perangkat yang lain” tutur Pak Burhan. Sejenak kemudian : “Sudahlah, kita jangan terjebak oleh nama dan kata. Apalah arti sebuah nama, jika sistim kinerjanya amburadul” lanjut kades itu mengutip ungkapan kata William Shakespiere.

          Sementara para warga perwakilan somah yang hadir dalam rapat itu tertegun mendengar penuturan Pak Burhan. Sayapun lantas angkat bicara lagi : “Lalu bagaimana dengan Seksi Karang Taruna yang sudah ada ?” tanyaku logis.

          “Saya tiadakan. Saya copot. Dan gantinya adalah Kang Mas Mosah, masuk pada struktur perangkat di bidang kepemudaan. Titik …!” sahut Pak Burhan tegas. Auidenspun terpana dibuatnya. Masih dengan semangat berapi-api, sosok pemimpin yang dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat itu berorasi lagi : “Berapa banyak organisasi kepemudaan warisan para pendahulu dengan nama yang mentereng, tapi hasilnya nihil. Sepi kegiatan. Gak ana ambuné….!” ujar kepala desa itu menggelegar penuh wibawa.

          Di sela-sela rapat perdana yang digelar setelah Pak Burhanudin dilantik sebagai Kades itu, memang lain daripada yang lain. Rata-rata para petinggi yang lalu,  jika rapat bersama warga, tidak ada yang menggubris ocehannya. Yang penting dapat  jajan kotak. Setelah diceramahi langsung pulang. Aman. Nggak ada masalah. Suasana mati.

Namun rembug desa kali ini sungguh-sungguh hidup. Ini juga berarti tidak lepas dari siapa yang menjadi pimpinannya. Sera merta akupun masih penasaran. Sehingga kuberanikan diri untuk bertanya lagi :“Ngapunten Pak Lurah, demi transparansi dan untuk kepentingan bersama, lalu bagaimana dengan sumber pendanaan yang ada ?” kataku agak ragu.

Dengan lantang Pak Burhan menyanjungku : “Bagus !. Pertanyaan yang bagus dari Kang Mas Mosah. Sangat kritis sekali. Begini. Bapak-bapak dan dulur-dulur, panjenengan seksèni, nggih….!  Karena hal ini masuk pada struktur pemerintahan desa, yang sejajar dengan kaur-kaur yang lain, maka sumber dana kegiatan yang terkait dengan remaja dan kepemudaan diambilkan dari kas desa” tandasnya.

Ada beberapa orang yang mengiyakan, : “Oohhh…. Inggih….!” sahut mereka hampir bersamaan. Pertanda setuju. Tak lama kemudian Pak Burhanudin menjelentrehkan soal tanah bêngkok (tanah ganjaran) hak kepala desa : “Silahkan Mas Mosah mengambil 50 persen dari tanah bêngkok saya. Silahkan dikelola dengan baik. Hasilnya untuk kegiatan para pemuda !” pesan Pak Burhan yang tentu saja disambut hingar-bingar dan tepuk sorak-sorai dari para peserta rapat.

Peserta rapat yang terdiri dari para staf dan perangkat desa, serta tokoh-tokoh masyarakat yang hadir di pendopo kelurahan malam itu saling pandang. Audiens yang berkisar 150 orang itu bergemuruh. Mereka mengekspresikan kegembiraannya masing-masing. Dalam benak hati para warga itu kompak berkata, kok ada pemimpin desa yang sebaik ini ?!.

Sontak dalam hitungan hari yang tidak terlalu lama, berita kebaikan lurah desa itu sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan planet luar angkasa. Antara kepala desa yang progresif dan perangkat yang agresif adalah sebuah keseimbangan menuju jalur-jalur kemajuan. Kades Burhanudin yang kebapakan, intelektualitas yang tinggi dan formulasi kemasyarakatan yang super gaul, sangat pas untuk menggarap komunitas dan ekosistim  yang ada di desa itu.

Sementara perangkat yang diajak ‘gerak cepat’ dan ‘lari kencang’ membangun desanya itu, sebagian ada yang ngos-ngosan. Namun tidaklah demikian dengan diriku selaku Kaur Kepemudaan. Maklum aku masih lajang. Bujang lapuk, lagi. Sedangkan para perangkat, staf dan karwan yang lain, rata-rata sudah beranak pinak. Meski demikian, mereka semua masih berjiwa muda. Semangat dan etos kerjanya masih tinggi.

Sistim kebijakan yang diterapkan lurah anyaran ini merupakan hasil wujud pembinaan dan pendekatan dari hati ke hati. Sosok lurah Burhanudin inilah contoh pejabat kepercayaan ummat. Minimal itulah gambaran sekilas profil Pak Burhanudin, lurah desa terpencil.

Selaku perangkat yang baru, Kaur Kepemudaan, berhari-hari aku ‘ngantor’. Belum ada garapan. Di atas meja kerja, aku menggores-goreskan ballpointku pada secarik kertas. Tertuang gambar yang tak bermakna. Bersamaan dengan munculnya lukisan abstrak itu, ada suara memanggilku, : “Mas Mosah, ditimbali Pak Lurah…” vokal Bu Carik senior itu membuyarkan lamunanku.

“Oh…inggih…” sahutku geragapan. Sonder ba-bi-bu, langsung aku meresponnya, sembari menuju ruang kerja Pak Lurah. “Inggih Pak, dalem….” kataku mengawali sambil membungkukkan badan, menyopankan diri di depan pintu.

“Begini Kang Mas Mosah, terkait dengan proposal dan program kerja Kaur Kepemudaan, sangat bagus. Bahkan lebih bagus dibanding dengan Kaur-kaur dan perangkaat yang lain. Prinsipnya saya setuju dengan membuka pelatihan drama-teater itu” ucap Pak Lurah memujiku. Saat itu aku merasa dibesarkan kepalaku. Lanjutnya kemudian : “Lalu kapan Mas Mosah merekrut anggota teater dan latihan rutinnya ?” tanya Pak Lurah.

“Insya Alloh minggu depan, Pak…!” jawabku mantap.

Begitu waktu yang telah aku janjikan tiba, nggak dinyana ternyata remaja dan kawula muda yang mendaftarkan diri sangat  banyak sekali. Tapi biasanya akan terseleksi sendiri dengan keaktifannya, pikirku. Toh nanti pada akhirya yang berminat sungguhan di bidang drama-teater tidak sebanyak ini. Biarlah mereka mengikuti pendidikan dan latihan dasar-dasarnya terlebih dahulu. Sebab bagi mereka adalah ilmu baru.

Dalam sambutan arahannya, Pak Burhanudin menyampaikan bahwa permainan drama-teater ini akan ditampilkan pada even-even tertentu, semisal panggung peringatan HUT RI, atau yang lain. Sorak-sorai gemuruh dari para remaja itu memadati halaman balai desa. Rona wajah mereka berbinar-binar. Maklum selama ini sepi kegiatan. Sepi pula penampilan. ===== = = = =

BERSEDEKAH KEPADA PENCURI

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

”Kapan-kapan kamu ya, yang ngopeni pekarangan ini…” kata ayahku suatu saat sembari menunjuk lokasi halaman dan pekarangan rumah.

            Aku tak berucap sepatah katapun. Sebab aku tak tahu apa maksudnya. Apalagi ketika itu aku masih kecil. Jadi nggak ngerespon sama sekali, gitu lho !. Dan nggak ngerti firasat apa waktu itu. Ngerti-ngerti setelah dewasa ini dan setelah ditinggal pergi selamanya. 

            Ayahku orangnya kurus kering. Keriput kulit di kening.  pertanda adanya garis-garis penuaan. Ayahku tak kenal penderitaan. Setidaknya inilah gambaran orang lawas yang pernah hidup di tiga jaman. Saban harinya menyatu dengan alam. Pergi ke sawah selalu ngebak  tak pernah sandalan. Yang dipikul seperangkat  krakal, singkal, garu dan pulang membawa bongkotan. Lenguh sapi cikaran adalah asset  ternak piaraan : seolah musik yang mengasyikkan.      Ayahku idolaku. Kebanggaan keluargaku. Perangainya yang halus membuat seisi keluarga bahagia. Menghadapi segala sesuatu disikapinya dengan hati & pikiran sejuk.

Pernah suatu ketika kebun di pekarangan rumah di acak-acak maling.  Jagung dipetik saja dari batangnya. Sementara batang-batang jagung itu masih kokoh berdiri. Suatu hari kami membawakan glangsing untuk wadah jagung yang akan kami panen. Ayahku sudah berada di kebun duluan. Tertawa ngakak sendirian. Mentertawaiku yang tergopoh-gopoh membawa glangsing beberapa lembar. Pasalnya lebih banyak wadahnya daripada hasil panennya. Sebab sudah kedahuluan dicuri orang.

            Betapa seandainya orang lain yang kehilangan. Sudah dapat dipastikan. Orang itu mendamprat. Mengumpat. Misoh-misoh.  Namun  ayahku hanya tersenyum sembari berucap ringan : “Kok ya kaningoyo tenan….malingnya, batangnya nggak dicabut …”

            “Kesuwen…qulhu ae Lik…!” kataku menirukan kiyai Anwar Zahid. Ayahku tertawa lebar, mendengar sindiranku dengan kata-kata yang sedang trendi itu.

            Tidak hanya masalah jagung saja. Periode berikutnya adalah ketela pohon. Tanaman kaspe yang sudah layak panen itu diketahui ayahku banyak yang layu. Ternyata beberapa pohon sudah pernah dicabut dan diambil isinya, kemudian batang itu ditancapkan lagi ala kadarnya.

            Ayahku nggak ambil pusing. Mungkin orang-orang itu saja malingnya. Mereka ingin menikmati hasil ladang yang menggiurkan. Bukankah ada hak bagi mereka untuk merasakannya. Bukankah kanjeng Rosulillah Muhammad Saw pernah berujar, bahwa barang siapa yang menanam suatu tanaman kemudian dimakan hewan atau manusia maka si penanam itu akan masuk surga.

            Hanya saja kami sekeluarga kepingin tahu siapa pelaku-malingnya. Seberapa  digdaya  pencurinya. Ndilalah kersaning gusti Alloh suatu pagi ayahku jalan-jalan sehat. Ternyata di perempatan kampung sana ada bekas bakar-bakar. Selidik punya selidik ternyata masih ada sisa-sisa menyok alias kaspe yang tidak habis. Ayahku hanya berdecak kagum. Berarti malingnya adalah orang-orang kampung sendiri. Mungkin kebetulan malam itu kelaparan, sehingga menggaet apa saja yang bisa disantap untuk dijadikan tambul dan ganjal perut. 

Rupa-rupanya maling-maling itu ketagihan menjarah. Kini sasaran incarannya adalah ranah rumah. Suatu malam, bertepatan dengan ayahku habis menunaikan sholat tahajud, ada suara kreteg…kreteg… Sesekali berbunyi gelodak…gelodak…

Ayahku bergegas ambil strategi. Lampu di dalam rumah dimatikan semua. Sementara lampu teras, halaman dan pekarangan samping dan belakang tetap menyala. Otomatis orang di luar tidak dapat melihat ke dalam rumah. Sedangkan ayahku dengan leluasa memandangi wajah yang menjadi ontran-ontran kampung kami.

Lelaki yang menyatroni rumah kami dibiarkan beroperasi. Yang dicuri adalah burung merpati. Pelakunya masih sangat muda belia. Mula-mula ia mengambil tangga yang bersandar pada tembok samping rumah. Kemudian diangkatnya dan diletakkan sedemikian rupa di bawah pagupon  rumah burung dara yang kami piara.

Dengan enaknya si pencuri yang masih remaja itu mengunduh satu persatu merpati kami. Dia tidak tahu kalau sedang diintai. Seandainya ayahku mau menggertak dan atau menangkapnya, mudah saja. Tapi lagi-lagi ayahku berbaik hati kepada si pencuri yang nota bene adalah tetangga sendiri.

            Dalam benak ayahku hanya ingin tahu siapa pencurinya. Setelah pencuri itu puas menggasak burung dara, langsung hengkang ke pojok kampung yang gelap gulita. Yang penting malam itu ayahku berhasil menatap wajah maling dengan sejelas-jelasnya. Dan habis subuh, ayahku mencoba jalan-jalan pagi menelusuri keremangan kampung yang masih sunyi.

            Begitu sampai di perempatan sudut kampung yang biasanya dijadikan tongkrongan para kawula muda, ternyata memang betul banyak sekali bulu-bulu merpati yang semalaman dicuri. Kayu dan bara api bekas pembakaran masih tersisa menganga. Pagi itu para begundalnya sudah hijrah entah kemana. Pikir ayahku, biarlah mereka mengambil. Mungkin terpaksa dilakukan, karena mereka kelaparan. Malam-malam tak ada yang memberi makan. Mau beli, uang tidak pegang. Ayahku menganggap : mulai jagung, ketela pohon dan burung dara adalah bahan santunan. Yang penting para pelaku kejahatan itu tidak menyakiti keluarga kami. Itu saja harapan ayahku. == =     

GERUMBUL

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

 (Pernah Dimuat Di Radar Bojonegoro, Jawapos Group)

          Perjuangan Mbah Trunosemito dalam memajukan kampung halamannya mendapat cercaan yang amat sangat. Ujung-ujungnya orang yang senantiasa memusuhinya ternyata punya rasa kecemburuan yang tak masuk di akal. Pemuda yang iri itu pengangguran. Kesehariannya lontang-lantung. Sumber ekonominya dari istrinya yang menjajakan pakaian jadi. Jika istrinya pulang membawa hasil, Sugik minta dipajaki. Sambil mengatongkan tangan, isyarat minta uang : “Untuk ngopi, Cah ayu….!” rengeknya.

          “Ngopi di rumah saja toh Kang, habis ini tak bikinkan…. ” tutur istrinya suatu saat.

          “Wedang kopimu nggak enak, Jeng…” sahut Sugik dengan mata sayu. Tampak sudah kambon mabuk. Kalau sudah demikian, istrinya tidak bisa tidak, harus setor upeti. Setelah menerima uang dari istrinya, Sugik ngeloyor pergi. Yang dituju adalah langganan warung kopi yang tersedia tuak. Lengkap dengan tambulnya.  Di sana sudah menunggu beberapa pemuda yang sedang menggerombol. Teman-teman sejawat, seprofesi dengan Sugik sudah ada yang menyeruput kopi pahit. Ada yang sudah menenggak tuak. Sebagian ada yang tekun menghadap kitab remi, domino, dsb.

          Lokasi warung itu diujung pintu gerbang perkampungan, yang berdekatan dengan tanah pemakaman. Jika malam, gelap gulita. Tak ada seberkas sinarpun yang memancarinya. Siapapun orangnya yang melintas di jalan itu merinding dibuatnya. Padahal sejatinya tidak ada apa-apa. Yang ada hanyalah halusinasi dari hati dan perasaannya. Tak jarang orang-orang dari kampung lain, menamainya kampung itu adalah kampung yang sangar bin angker.

          Kesan pertama adalah adanya tanah pekuburan. Ditunjang lagi dengan adanya pepohonan besar yang diperkirakan sudah ratusan tahun yang lalu tumbuh dan berkembang. Sementara para ahli waris yang mempunyai keluarga yang dikubur di lokasi itu tidak peduli terhadap kebersihannya.

           Atas inisiatif pribadi yang bermula dari pengabdian diri, Mbah Trunosemito membabati tanaman liar yang ada di lokasi pemakaman. Sedikit demi sedikit, Pak tua itu menelateni geraknya dengan tenaga pas-pasan. Maklum sudah mulai udzur. Meski demikian, masih menampakkan ketrengginasannya. Sabetan parangnya masih mampu merontok-robohkan rerimbunan semak-belukar.

          Demi melihat rajinnya Mbah Trunosemito ini, tak jarang warga sekitar turut memberi support. Tidak ketang kirim camilan. Ada yang mengirimi wedang kopi, es sirup dsb. Bahkan

ada juga yang cuma iseng menggojloki saja dengan teriakan-teriakan sekenanya, : “Laut…laut…! Mbah laut, Mbah…..!” komentar orang-orang yang lalu lalang di jalan itu. Laut itu dalam bahasa tukang artinya berhenti atau istirahat. Itu maksudnya Mbah Trunosemito disuruh berhenti atau istirahat dari mergawenya.

          Jika sudah demikian, Mbah Truno cuma sekadar menimpali saja : “Oh, inggih…inggih…” lantas tertawa terkekeh-kekeh. Ayunan parang masih menari-nari dengan lincahnya. Tetesan keringat dari kulit keriputnya menambah kilau tubuhnya yang hitam legam. Punggungnya yang mengkilap itu bagaikan diplitur saja. Sesekali tersorot sinar matahari dari celah-celah dedaunan, menambah kilau pundak Pak tua itu. Jika sudah nyedot rokok klobotnya dengan kuat, maka pipinya kelihatan dekik. Bahkan kempong perot.

          Dalam kurun waktu yang relatif singkat, lokasi pekuburan milik desa yang semula gelap gulita itu kini menjadi padang-jingglang.   Kini tidak ada lagi orang yang takut melintas di jalan poros desa itu. Malam haripun sudah terpasang beberapa titik lampu yang mencorong. Walhasil gebyar penerangan sudah menghilangkan kesan warna kuburan yang terkenal rumbuk, sangar, angker dsb itu.

          Bahkan di sudut tembok kuburan itu masih ada sedikit lahan kosong. Atas seijin Pak Lurah setempat, Mbah Trunosemito diperbolehkan membangun padepokan dari bongkotan. Dinding dari sesek dan gedeg itupun diambil dari rumpun bambu pembatas desa dengan tanah pekuburan. Di dalam gotakan mungil inilah Mbah Trunosemito berteduh dari terik mentari dan hujan. Sementara di sebelahnya terdapat peneduh yang dijadikan tempat menyimpan perangkat kematian (tong-drum air, keranda, bendera kesusahan dsb).

          Mbah Trunosemito hafal betul dengan adat kebiasaan di lokasi pemakaman itu. Misalnya, jika keranda di sebelahnya bergoyang hingga menimbulkan suara pating gelodak, maka pertanda beberapa hari berikutnya di kampung itu akan ada orang meninggal. Mbah Truno memang rajin rialat. Sebelum membersihkan gerumbul di tengah-tengah kuburan itu, ia senantiasa bangun malam. Dalam lelaku spiritual itu Mbah Trunosemito mempunyai rafalan-rafalan tertentu. Gabungan arab dan kejawen. Hingga sampai pada ayunan parang pertama dan seterusnya, seolah mulut Mbah Trunosemito tidak berhenti bertkomat-kamit membaca mantra. Intinya mohon perlindungan kepada Alloh Swt dengan minta keselamatan dan kenyamanan dalam berpengabdian demi desanya.

          Keberanian yang luar biasa ini, dianggap sepele dan merugikan Sugik. Oleh karenanya, dalam suatu rapat bersama warga dalam rembug desa yang dipimpin Pak Lurah, Sugik dengan beringasnya menyampaikan uneg-uneg pribadinya.

          “Ngapunten Pak Lurah, kalau sudah ada yang diberi peluang membangun rompok di tanah pekuburan, tidak menutup kemungkinan ada warga lain yang ingin ikut-ikutan membangun di sekitar makam itu” suara Sugik menggelegar. Audiens yang lain ada yang berbisik-bisik, jangan-jangan si Sugik itu sudah kambon arak dan tuak. Yang lainpun menimpali, lihat saja bau abab mulutnya, apakah mambu atau tidak. Tak pelak, disekitar warga yang ngrasani itu cekikikan.

          Demi mendapat sanggahan semacam itu, Pak Lurah dengan spontan menanggapinya dengan bijaksana : “Sekarang tunjuk jari, siapa yang iri dengan Mbah Trunosemito…?” berkali-kali kalimat tanya itu diulanginya. Kenyataannya tidak ada yang ngacung.

          “Alhamdulillah, tidak ada yang angkat tangan. Berarti panjenengan semua, warga di sini tidak ada yang iri dengan Mbah Trunosemito, kan….??!!”

          “Inggiiihh…..” sahut warga hampir menyuarakan koor.

          Balas Pak Lurah, : “Oke, terimakasih. Yang tidak iri dengan Mbah Trunosemito, itulah rakyat yang cerdas. Berbagai pertimbangan, mengapa saya mengijinkan Mbah Trunosemito mbangun rompok di sudut makam ?. Pertama, beliau sudah tua, namun rela menghabiskan tenaganya untuk membersihkan makam yang hampir tak terawat, sehingga nampak menjadi gerumbul yang angker yang ditakuti orang. Dengan gerumbul itu membawa image pada desa kita yang negatif. Kedua, Mbah Trunosemito kami nobatkan sebagai juru kunci makam desa kita, yang selama ini tidak ada yang mengurusnya. Coba panjenengan semua bisa lihat, betapa bersih dan terang-benderangnya makam kita. Walau malam hari tetap kelihatan kinclong terus. Nah, barangkali kita ada rejeki, monggo kirim camilan ke padepokan Mbah Trunosemito. Tidak ketang seiris godoh bolet dan secangkir wedang kopi !” panjang-lebar kata orang nomor satu  di desa itu.

          “Inggih….. betul…..betul…betul…!” balas para warga hampir bersahut-sahutan. Pertanda mereka setuju dengan Pak Lurah.

          “Wong gitu aja kok diiri…?” balas Pak Lurah. Lanjutnya pula : “Sekarang siapa sih, yang mau merelakan tenaganya membabati gerumbul, terkadang kesandung patok, maesan, bahkan kecantol carang…? Terus siapa yang berani malam hari tidur di kuburan, di dekatnya terdapat keranda bergoyang dan pating gemlodak …? Terus terang saya merinding mendengar cerita dari Mbah Trunosemito soal kejadian aneh-aneh dan dunia lain-lain itu !”

          Esok harinya Pak Lurah mendengar selentingan kabar, bahwa irinya Sugik itu lantaran arena wilayahnya, sebagai tempat persembunyian yang digunakan minum-minum itu ikut katut dibabati oleh Mbah Trunosemito. Sehingga dengan demikian, Sugik Cs tidak lagi memiliki tempat persembunyian untuk nenggak arak, tuak, main remi, domino dsb. = = =

KOPI SANTRI BERLITERASI PENUH SENSASI

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

(Pernah Dimuat Di Majalah Langitan)

          Setidak-tidaknya ada 99 warung kopi di kelurahan tempat tinggal Kang Sobar. Itu belum terhitung kios-kios angkringan  sebagai tempat kongkow-kongkow  kawula muda yang ada di sekitar warung remang-remang di kota itu. Niscaya warung-warung kopi itu jumlahnya lebih dari 99. Dan semuanya trendi.

            Kang Sobar Si alumni pesantren ternama di provinsi itu prasasat  hampir sudah pernah menjelajah semua angkringan yang bercokol di sekitar wilayah domisilinya. Yang namanya wedang kopi, ya begitu itu rasanya. Mau bagaimana lagi. Bedanya sekarang ada kopi sasetan dengan berbagai macam formula dari produk yang beraneka rasa. Inipun bagi lidah Kang Sobar masih tetap sama rasanya, walau beda serbuk. Yang membuat orang kesengsem  hanyalah tempat lokasinya saja. Bangunan warung seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi yang penghobi ngopi.  Maka tak ayal pula, kini banyak bermunculan kafe-kafe yang dipercantik dengan aneka lukisan. Ada yang abstrak, ada yang performan.

Sedangkan segi bentuk dan ukuran warungnya : ada yang sempit ada yang jembar. Ada yang memasang hot spot ada yang tidak memiliki wi-fi.

Rata-rata peminum kopi di warung-warung itu, sekali minum 1 cangkir menghabiskan waktu 2 jam. Yang lama adalah obrolannya. Omongannya ngalor-ngidul  sekenanya. Hasil pembicaraannya nggak bisa dipertanggungjawabkan.

            Jika remaja harapan bangsa dan kawula muda tumpuan negara, hanya menghabiskan waktunya untuk jagongan di warung kopi, maka apa yang terjadi. Lalu apa kata dunia. Sementara kreativitasnya hanya adu argumen dengan lawan bicara yang tak diketahui asal-usul dan latar-belakangnya. Materi penggunemannya  tak ada jluntrungnya. Apa untungnya, jika hanya jagongan, rokok-rokokan dan sesekali menyeruput minuman,  yang hanya memanjakan tenggorokan saja ?.

            Pantas jika Unesco menyiarkan hasil surveynya, bahwa rakyat Indonesia gak ada minat baca. 1000 manusia, hanya 1 orang yang membaca. Rupa-rupanya inilah yang menjadikan niatan Kang Sobar terus berkobar. Negara akan merasa sangat malu bila memiliki warga yang tidak bermutu. Bolehlah warung kopi sebagai sarana mengais rejeki. Tapi kwalitas hendaklah tetap menjadi prioritas.

Kepada emaknya, pemuda Sobar memelas agar memberikan permodalan dengan ikhlas.

            ”Ya sudahlah Cung, setelah hasil panen ini  boleh kau gunakan untuk buka usaha” jawab emaknya kepada Sobar. “Memang almarhum Bapakmu ninggali sawah ini juga untuk kehidupan kita sehari-hari, kok…” sambung emaknya mbrebes mili, mengenang suaminya yang semasa hidupnya getol bercocok tanam. Tanya emaknya kemudian : “Lha kira-kira rencananya mau bikin usaha apa toh, Le… ?”

            “Warung kopi, Mak…!” jawab Sobar berbunga-bunga begitu mendapat lampu hijau dari satu-satunya ibu kandung sebagai pepundennya itu.

            “Hah,…! Warung kopi…?!” sahut si janda tercengang. Belum sempat Kang Sobar menjawab, sudah didahului komentar emaknya dengan nerocos, : “Oalah,… menurut perasaan emak Cung, yang namanya warung kopi itu sudah mbelader  di mana-mana. Lagi pula banyak saingannya !”

            “Beda, Mak !. Saya nanti mau bikin warung kopi yang lain daripada yang lain…..!” jawab anak mbarep  itu optimis.

            “Beda piye maneh…!?  Warung yo ngono iku….! Apa lagi warung kopi….!” komentar perempuan paro baya sembari nyenthir-nyenthir, dengan vocal yang full trible.

            “Waduuuh…. Emak iki Rek…, Belum tahu, dia…!” sahut Sobar dengan mimik lucu dengan logat Suroboyoan. Tambahnya pula : “Sudahlah Mak, sampeyan nggak tahu apa-apa. Pokoknya yang saya minta adalah pendongane sampeyan  wae…!” pinta Sobar.

            Serta merta Kang Sobar  yang jebolan Ponpes itu menyuarakan dalil di hadapan emaknya : “Ridholloh fi ridhol walidaini, wa suhtulloh fi suhtil walidaini”

            “Gak ngonone, sih ?. Model warung kopi yang bagaimana sih, Bar….Sobar….!?, aku kok mbok wacakno dalil barang, sih….??!” tanya emaknya penasaran. “Dupeh mari mondok, ae….!! “ ibunya menggojloki.

            “Warung kopi literasi, Mak….!” jawab Sobar mantap. “Sing nduwe santri…!” lanjut Kang Sobar optimis.

            “Oalah, Cung…Cung…! Wong kopi kok dicampur terasi. Opo tumon…??!, mendahniyo rasane ??” balas emaknya dengan suara yang lebih memekakkan telinga.

* * * * * * * * * * *

            2 (dua) minggu kemudian bangunan eksotik dengan gaya klasik bernuansa nyentrik telah berdiri. Mulai tiang pancang utama, dinding dan ornamen berbahan dasar dari bambu.  Sengaja ruang tengah sebagai tempat lesehan cukup luas. Sementara di sekelilingnya masih dipasang beberapa meja-dingklik  dan kursi. Ini njagani  barangkakali ada orang andok yang tidak suka lesehan. Biarlah para peminum itu duduk di kursi dan dingklik-dingklik antik. 

            Yang membedakan dengan warung-warung kopi lainnya adalah adanya sudut-sudut baca yang unik, lengkap dan menarik. Ada deretan koran dan majalah dari berbagai penerbitan dan edisi. Bahkan buku-buku bacaan ilmiyah, fiksi/non fiksi ada di warung kopi yang satu ini. Anehnya di warung kopinya Kang Sobar ini tidak dilengkapi dengan wi-fi.

            Sebagai pertanda bahwa si pemiliknya golongan intelek, tempat usaha Kang Sobar mengais rejeki itu dipasang papan nama yang terbaca sangat menyolok penglihatan : WARUNG KOPI LITERASI.

Pikir  Kang Sobar, gak ngurus pembaca. Dengan tulisan “literasi” itu, pembaca ngerti  atau tidak,  terserah !. Yang jelas bisa bikin penasaran pembaca dan pengunjungnya.  Tak urung pula banyak pendatang baru yang andok,  menanyakan  arti literasi. Dan tidak sedikit yang bertanya tentang passwordnya wi-fi.

Dengan sopan Kang Sobar menjawab : “Ngapunten , disini tidak saya  pasang hot-spot. Nggak  ada wi-fi. Gantinya hanyalah literasi. Baca-baca buku, koran, majalah dan sebagainya. Monggo  cari sendiri. Inggih, banyak koleksi. Sangat pas jika dicermati sembari ngunjuk kopi !”

Sepintas raut wajah para pembelinya mafhum tampaknya. Sesaat kemudian Kang Sobar ceramah lagi : “Apalagi kopi yang tersedia di sini adalah 100 persen serbuk kopi selir-asli-murni.  Kopi arabika dan robusta pilihan dengan cita rasa kopi yang super nikmat…!” kata pemuda lajang itu nerocos. Pelanggan yang andok di warung itu manggut-manggut.

Tak lama kemudian pemuda Sobar berpropaganda lagi : “Maka dari  itu, terciptalah perpaduan kopi dengan tekonologi, hasil karya santri anak negeri !”. Mula-mula Kang Sobar tidak hafal betul dengan teks kalimat yang panjang itu. Namun dia punya trik tersendiri, yaitu sesekali melirik naskah yang dijadikan hiasan dinding warungnya, dengan tulisan yang besar-besar.

Setiap kali Kang Sobar menyebut kopi selir, sesekali pula menyodorkan buku-buku seputar perkopian dari penerbit yang satu  ke penerbit yang lain, kepada orang-orang yang singgah di warungnya.

Masih dengan sabar dan kalemnya, Sobar menjelaskan pula : “Memang sengaja di warung kopi ini mboten saged  kangge  internetan. Ngapunten, sok-sok wonten  remaja tasik alit-alit, sudah membuka-buka situs-situs terlarang”.

            Insya Alloh dengan gaya penjelasan persuasif seperti itu, pelanggan akan mafhum dan secara tidak langsung diharapkan bisa menggethok-tularkan ke teman sejawat dan kerabat kerja yang lain.

 Dengan eksen tulisan yang berjiwa seni pula, di sela-sela dinding gebyog  warungnya Kang Sobar itu tak luput dari motto atau beberapa semboyan dan kata-kata bijak, antara lain tertulis : KOPI  SANTRI,  WARUNG LITERASI BIKIN SENSASI. Sedangkan persis di atas tempat meracik minuman, terpasang backround banner yang berbunyi  DENGAN BACA-BACA, JENDELA DUNIA AKAN TERBUKA.

Nyatanya pelanggan-pelanggan pertamanya merespon pitutur Kang  Sobar, dengan langsung memilih-milih bahan-bahan bacaan yang disukai. Terbukti mereka juga terpaku  berlama-lama di warung yang baru itu. Lebih membanggakan lagi, pembeli-pembeli awal, masih sering berkunjung pula untuk menyeruput  minuman di warung literasi itu, sambil mengiyak-iyak  buku-buku dan majalah serta koran-koran yang tersedia. Termasuk Majalah LANGITAN  dari edisi ke edisi, yang dulu bernama DETAK dan KAKI LANGIT, serta buku-buku karya para ustadz, masayikh dan para santri  anak negeri.  = = = =  = = = =

LIKU-LIKU RUMAH GLUGU   

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi      

        Berhari-hari setelah dewasa ini, aku selalu merenungi petuah-petuah almarhum ayahku. Terkadang akal dan pemikirannya tak bisa sambung dengan ide-ideku. Tak jarang setiap melakukan sesuatu, pendapat kami selalu berseberangan. Aku pikir, maklum orang tua. Kolot. Feodal. Dan sebagainya. Meski demikian kami sekeluarga bahagia-bahagia saja. Yang namanya pemuda harus hormat dan patuh kepada yang tua. Dan semua itu harus pandai-pandai mengambil hikmahnya.

        Begitu aku sudah mandiri, dalam arti sudah mendapat penghasilan sendiri, walau masih kumpul keluarga : ada ibu dan adik-adik yang kini semuanya menjadi tanggunganku.    Yang paling terngiang di telingaku kala itu adalah pesan ayahku perihal rehab rumah. Jika saya tafsiri, sayalah yang kebobohan menanggung biaya perbaikan rumah satu-satunya asset bersama ini. Sebab wasiat itu hanya ditujukan padaku. Mungkin memang waktu berbincang-santai waktu itu tidak ada orang lain (tidak ada saudara-saudara anggota keluarga yang lain), kecuali diriku.

        Sehingga amanat inilah yang aku pegang teguh. Kakak-kakak dan adik-adik bahkan ibu yang kini sudah udzur-pun tidak tahu menahu soal pesanan khusus ini. Hingga suatu saat aku pernah berujar dalam hati, demi melaksanakan tugas dari almarhum ayahku, aku rela tidak tergesa-gesa rabi terlebih dahulu. Sebab perhitungan secara matematis, sudah barang tentu nikah dan kelanjutannya membutuhkan ragad  yang tidak sedikit. Apalagi kelangsungan hidup berumah tangga untuk selamanya. Butuh sana, butuh sini. Ngopeni anak-istri. Sudah jelas, sumber ekonomi tidak mencukupi, bila ditambah dengan rumah padepokan kami yang harus diperbaiki.

        Minta urunan kakak-kakak atau famili ? Saya pikir jauh paanggang dari api. Wong kakak-kakak dan sanak famili ekonominya tidak lebih bagus dari kami. Rata-rata sanak famili kami adalah rok-rok asem. Sehingga boleh dibilang hidup sebatang kara. Maka satu-satunya jalan aku harus mengendalikan ekonomi seorang diri. Dan yang terpenting aku tidak tergesa-gesa rabi. Kalau memang Tuhan menghendaki, biarlah adik-adikku yang cewek-cewek itu saya suruh mendahului.

        Entah petir mana yang menggelegar di tubuhku. Setelah sebagian material perbaikan rumah kudatangkan. Seluruh keluarga mendampratku habis-habisan. Kok nggak malah bilang matur kasih sembah nuwun  atas akan dibangunkannya rumah. Memang betul firasat ayah, rumah yang sudah lawas-lapuk dimakan usia ini sudah selayaknya untuk direhab.

        Tapi mengapa niatan suci dariku untuk melaksanakan wasiat ayahku, tidak mendapat persetujuan dari khalayak keluarga ?. Berbagai macam argumentasi melayang dari sana-sini. Yang katanya ribet, susah boyongan sementara, dan tetek-bengeklah. Usut punya usut,  keluarga kami tidak suka dengan materialan yang kami datangkan. Yaitu berupa kayu glugu. Keluarga kami termasuk mengacu pada orang-orang kuno yang hanya meniru-niru. Gugon-tuhon. Ikut-ikutan  nenek-nenek moyangnya. Padahal sejatinya pantangan-pantangan dan atau perlakuan-perlakuan yang mereka anut itu hanyalah ‘katanya-katanya’ belaka. Tanpa dasar. Apabila ditanya, ia hanya bisa menjawab : tidak tahu wong ini juga dilakoni mbah-mbah moyang kami.

        Ironisnya, pemikiran tanpa logika itu kini sudah meracuni para kawula muda. Dianggapnya apabila ada rumah yang menggunakan kayu kelapa itu, maka seisi keluarga itu akan julung. Selalu ketiban apes. Sulit rejeki, dsb. Lho, apakah yang menjadikan nasib enak dan tidak enak itu tuhan glugu ?. Sungguh-sungguh tidak masuk akal sama sekali orang jaman kini. Kok masih ada ummat yang begini. Malah ada paman ku yang mentang-mentang sok pinter, lantas memberikan alibi yang diilmiah-ilmiahkan. Katanya, jangan sekali-kali menggunakan glugu untuk rumah. Ketika patah, tidak ada tanda-tandanya. Tapi selain glugu, diawali dengan tanda-tanda mungkin ada suara kratag…kratag. Sedangkan glugu, langsung putus…tus, patah…tah…, pedot…tel…!!

        Saya sanggah langsung. Sekarang  glugu yang mana. Wong glugu itu ada 3 tingkatan. Nomor satu adalah keluaran Sulawesi. Urutan kedua adalah Kalimantan. Dan ketiga yang paling jelek adalah glugu dari tanah Jawa. Jika glugu yang dipakai itu pas gabus tengahnya, sudah dapat dipastikan rapuh. Gembur dan tidak kuat. Ini yang tidak layak untuk bahan bangunan.

        Yang saya datangkan itu adalah glugu kwalitas super dari Sulawesi. Mauku jika memang tidak disetujui, saya persilahkan sanak keluarga mengambil alih wasiat ayahku untuk merehab rumah ini. Saya punya pendirian, tidak mungkin ayahku memaksakan kehendak. Pasti disesuaikan dengan kemampuan yang diwasiati. Tidak mungkin pula arwah ayahku memilah-milah bahan untuk rehaban.

        Di satu sisi sekadar syarat. Aku melaksanakan wasiat. Semantara sisi lain, aku pilih kayu yang kuat. Dari galangan sudah kupilihkan jenis glugu super. Yang layak untuk bangunan adalah bagian pinggiran. Tandanya masih tersisa kulit batang. Terkadang ada bekas panjatan. Aku juga menyadari, bahwa opini masyarakat akan kayu glugu untuk bahan bangunan tampaknya belum bisa diterima. Pertama, masih adanya unsur animisme dan dinamisme. Saya pikir faktor supranatual sajalah yang menghantui mereka. Kedua, belum sampainya informasi aktual mengenai pergluguan.

        Bukankah sudah dicantumkan lewat falsafah kepramukaan. Bahwa dengan lambang tunas kelapa sebagai simbul pramuka itu mengandung makna yang sangat dalam. Dari sisi kehidupan, tunas kelapa mampu hidup di mana saja dan dengan segala cuaca yang bagaimanapun juga. Setidaknya penghuni rumah glugu bertahan hidup walau dengan kondisi yang bagaimanapun juga. Ekonomi pas-pasan, misalnya.

        Akar nyiur dapat dijadikan obat. Dengan harapan penghuninya sehat sentosa semuanya. Daun/janurnya bisa untuk bungkus lepet, kupat. Buah kelapanya sendiri sebagai sumber energi. Kelapa muda (degan)nya untuk penghilang dahaga sekaligus bisa dijadikan obat (penetralisir racun). Kulit kelapa/batok dan serabut/sepetnya bisa untuk kerajinan. Makna filosofisnya adalah yang menempati rumah itu tidak kekurangan sandang- pangan.

        Apalagi kayunya yang misuwur dengan sebutan glugu. Kuatnya amit-amit. Tikus, rayap, thothor tidak akan doyan, karena giginya tidak mungkin tedas mengkrokoti  kayu yang sangat padat dan sarat dengan serat itu. Sebab glugu super Sulawesi umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Yang ditebang adalah pohon nyiur yang sudah tidak produktif lagi. Dengan tidak menghasilkan buah itu, maka sari-sari makanan akan terkumpul pada serat batang, yang pada akhirnya menjadikannya kayu bagian pinggirannya itu menjadi amat sangat kuat. Hitam. Legam. Kiyeng lagi.

        Belum lagi kalau ahli mebelernya kreatif, dengan sentuhan-sentuhan seni, maka glugu akan mempunyai nilai tambah yang tiada tandingnya. Lebih enteng lagi karena sekarang sudah ada teknologi mesin bubut untuk membentuk kayu menjadi model apa saja. Dari segi harga, dijamin murah meriah. Dari segi kwalitas, glugu adalah teratas, dibanding dengan jati muda, kruing, kamper dsb. Wong jati sekarang rata-rata muda usia sudah di tebang. Putih lagi coraknya.

        Dengan landasan dan atas dasar pemikiranku yang belum bahkan tidak semua orang mempercayainya itu, lantas saya menyerahkan bulat-bulat kepada para anggota keluarga yang kompeten untuk memperbaiki rumah peninggalan ayahku itu. Serta-merta akupun menjluntrungkannya. Kalau memang urusan rehab-merehab rumah ini diserahkan padaku, aku akan bertindak sesuai dengan kehendakku. Dan akan aku sesuaikan dengan kemampuanku. Mulai pemilihan jenis material (bahan) : termasuk glugu, bentuk bangunan, jumlah kamar, pencarian tukang, ongkos penggarapan dsb.

Tapi seandainya ada anggota keluarga yang mampu dan sanggup menghandelnya, monggo. Saya persilahkan dengan hormat untuk menggarapnya. Saya akan lepas tangan. Dan insyaalloh saya tidak berdosa. Sebab saya hakekatnya sudah melaksanakan wasiat. Hanya saja keluargaku rewel. Tak tahu diuntung. Akhirnya kini apa yang terjadi, tidak satupun yang sanggup untuk mengambil alih pelaksanaan wasiat…..!!  = = = = =

*) Glugu                                          = batang/kayu pohon kelapa

Krakal, garu, singkal                 = alat untuk membajak sawah tempo doeloe.

Kaningoyo tenan                         = sungguh terlalu

Cung, Le, Nak, Ngger               = panggilan anak lelaki

Kesuwen, qulhu ae Lik             = sindiran kepada orang yang kerjanya lambat

Nyeker                                           = tanpa alas kaki

Bongkotan                                    = pangkal pohon bambu

Kaspe, menyok                           = ketela pohon

Digdaya                                         = kekuatan supranatural

Ndilalah kersaning Alloh           = ternyata kehendak Alloh

Ontran-ontran                              = tokoh jahat

Pagupon                                        = rumah burung merpati

Begundal                                       = pelaku kejahatan, maling, perampok

Ragad                                             = biaya

Ngopeni                                         = merawat, memelihara, mengasuh

Urunan                                           = (biaya) tanggung renteng, ditanggung bersama

Rok-rok asem                              = kerja yang tidak menentu, angin-anginan

Rabi                                                 = nikah

Sembah nuwun                            = terimakasih

Gugon tuhon                                 = ikut-ikutan tanpa dasar

Julung                                            = apes, sial

Pedot – tel                                     = betul-betul putus

Amit-amit                                       = sangat. Terlalu

Thothor                                          = sebangsa rayap yang menggerogoti kayu

Kiyeng                                            = Amat kuat

Menjluntrungkan                         = menjelaskan

Cerpen : PEMULUNG

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

 (Pernah Dimuat Di Koran Faktor)

KENALKAN, Aku adalah sekian kali dari korban  pemulung. Mungkin Anda bertanya-tanya dalam hati : kok bisanya pemulung menjerumuskan seseorang menjadi pemulung.  Punyakah  daya kekuatan untuk mendongkrak sesama jenis dalam satu komunitas ?,  sehingga lebih rendah dari pemulung itu sendiri ?. Bukankah pemulung itu komunitas  yang bestrata sosial paling rendah ?. Ternyata tidak !. Justru dengan profesinya sebagai pemulung itulah mereka mempunyai power untuk bertingkah. 

Ya, dia memulungi orang-orang di sekelilingnya agar rival kerjanya itu menjadi pemulung betulan. Dia menggunakan ajian serat jiwa : mumpung berkuasa. Dalam benaknya terpatri uang dan kekuasaan. Sementara raut luarnya sungguh mempesona. Hingga siapapun yang berdialog dengannya, kepincut dibuatnya.

 “Kalau melihat data, ternyata Adik termasuk pegawai senior di perusahaan ini” celetuknya setelah aku duduk di kursi tamu yang tertata rapi di ruang kerjanya.

Inggih, Pak” kataku sambil manganggukkan kepala. “Semenjak tamat kuliah saya sudah mengabdi dateng perusahaan meniko, kalih konco-konco” lanjutku merendahkan hati dengan logat Jogja.

“Apa tidak ada rencana atau keinginan Adik untuk menapaki jenjang yang lebih tinggi lagi ?” tanyanya kemudian.

“Wah…ngapunten, Pak !” sahutku cepat. “Sak kerso Bapak saja !” sambungku kemudian.

“Sebab ini ada jabatan yang kosong, yang perlu segera kita lengkapi guna melancarkan mekanisme kerja di perusahaan ini. Kan eman-eman, bila peluang ini tidak Adik manfaatkan” jelas sang menejer peronalia panjang lebar.

Tanpa ba-bi-bu lagi aku segera pamitan dengan dalih masih banyak tugas-tugas yang harus aku selesaikan. Kalau memang dia sebagai kepala bagian personalia yang punya matahati dan katahati, tentu tidak usah memanggil : memberi pengarahan segala macam. Kalau mau berdasar senioritas pegawai, dari segi lama pengabdian, kenapa tidak pakai kenaikan pangkat otomatis saja ?.

Namun karena ada udang di balik batu, sehingga beberapa orang pegawai yang kelihatannya sudah layak naik pangkat, ia panggil untuk menghadap keharibaan daulat.  Dan hampir setiap orang mendapat rayuan mautnya. Namun sayangnya, tidak semua orang terhipnotis oleh iming-iming si ‘boss’. Sebab ujung-ujungnya sang ‘pesakitan’ harus melepaskan upeti yang jumlahnya amat sangat tidak rasionil lagi. Walhasil dengan demikian iapun tidak memperoleh masukan dari yang ia elu-elukan itu.

Akibatnya adalah diadakan pemanggilan massal. Dalam rapat koordinasi itu, tertuang sebuah keputusan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama akan ada rekruitmen karyawan baru, yang nantinya akan menempati kedudukan yang dipandang ‘segar’. Serta merta kami yang diajak meeting, memberikan suara selogis-logisnya.

“Apa tidak seyogyanya memberdayakan tenaga yang sudah ada, dari pada mengambil tenaga baru, yang masih perlu bimbingan dan pembinaan” usulku menuruti aspirasi teman-teman sekolega.

“Berarti Anda tidak menuruti menejemen di perusahaan ini. Okelah bila ada yang tidak pas bekerja di sini, saya persilahkan mencari tempat kerja di lain tempat” selorohnya memberi tanggapan.

Setan mana yang tidak kaget mendengar ocehan semacam itu. Bagaikan petir di siang hari kami mendapat sesumbar yang tak diduga sebelumnya. Tak betah rasanya kami terkungkung dalam glamouritas semu. Kami berada di perusahaan besar. Asetnya milyaran rupiah. Namun tampaknya kami adalah anak ayam yang mati di lumbung padi kelaparan. Bisa-bisa kami diibal-ibal yang nasib akhirnya persis bahkan lebih rendah di bawah jajahan Belanda.

Ironisnya, tiga minggu setelah insiden itu, terjadi mutasi besar-besaran di kalangan perusahaan itu. Aku termasuk yang terkena rolling. Namun sayangnya atasan tidak profesional dalam meletakkan jabatan anak buahnya. Bukankah aku selama ini memegang kendali  di bagian kesehatan ?. Dan sesuai dengan ijasah dan profesiku menyehatkan karyawan ?. Ternyata begitu ada berita perputaran kinerja, yang dibuktikan dengan SK mutasi jenjang penugasan  ternyata aku ditempatkan pada pos keamanan.

Dari segi profesionalisme, sesungguhnya siapa yang tidak profesi ?. Yang menempatkan ataukah yang ditempatkan. Padahal masyarakat perusahaan memberikan sebutan, bahwa aku adalah identik dengan kesehatan. Meskipun kini akau ditugaskan di balik meja komando keamanan, namun orang-orang disekitarku masih mempercayakan, bahwa akau adalah tenaga medis mereka.

Para kolega dan orang-orang yang butuh akan sarana kesehatan bisa menyiasati. Walau pada jam-jam dinas kerja aku tetap sebagai komandan keamanan, tapi ketika lepas dinas atau barangkali tidak ada kunjungan pejabat birokrat atau bila suasana boleh dibilang kondusif, aman-terkendali, aku melungsing lebih awal. Atau bila sudah pantas untuk pulang, maka pulanglah aku. Sebab ternyata di rumahku sudah antri pasien-pasien yang ujung-ujungnya adalah membawa rejeki.

Setidak-tidaknya itulah hikmah yang bisa aku petik dari kejadian yang memilukan ini. Meskipun aku tidak mendapat rejeki tambahan dari perusahaanku tempat aku bekerja, ternyata Tuhan berkehendak lain. Sumber-sumber tambahan senantiasa pasti ada.

Selang beberapa bulan kemudian, kepala bagian personalia yang otoriter dan terkenal bengis bin kejam itu mendapat musibah kecelakaan lalulintas. Mobil yang dikendarainya oleng dan menghantam truck trailer yang beroda 22. Tak ayal pula mobil katana yang mungil itu tertindas mesin raksasa. Proses penindasan ini sebagai lambang balasan ketika ia menindas karyawan yang laik menduduki jabatan atasnya.  Karena dengan kekuasannya, karyawan terebut tidak jadi naik daun. Justru sebaliknya malah turun drastis. Sedrastis mobilnya yang kini ringsek, dirinya yang patah tulang dan biaya pengobatan yang super mahal. Itupun belum tentu kondisi kesehatan tubuhnya pulih kembali semporna seperti sediakala.   = =

PESONA MALAM IMPIAN DI KOREA

Karya : Ahmad Fanani dan Ahmad Ghozi

 (Cerbung Ini Telah Diterbit-kembangkan Dalam Bentuk Novel

Impian Bulan Bercahaya Di Korea, CV Rondhi Pratama Press 2017)

          TIDAK Seperti biasanya, duda muda tanpa anak itu dolan-dolan ke cewek incarannya dengan membawa oleh-oleh yang begitu banyak sekali. Sekeranjang apel. “Hah, kok Mas kayak kulakan saja !” celetuk Ertina begitu membukakan pintu untuk Andung. “Buat siapa ini, Mas ?” tanya Ertina sembari menyenti-nyentil apel manalagi panenan dari Thailand.

            “Buat siapa lagi, Er…?” Andung balik bertanya.

            “Kok segini banyak ?!” Ertina lebih membelalakkan matanya. Sehingga kelopak mata yang sayu itu nampak lebih ayu.

            “Katanya kamu sangat selektif dalam memilih dan memakan buah-buahan” ujar Andung dengan kerlingan matanya yang semi menggoda. “Rata-rata buah-buahan import memang dijamin organik semua” lanjut pria yang ditinggal mati istrinya, gara-gara pendarahan hebat ketika melahirkan bayi pertamanya. Sampai-sampai Ibu dan bayinya meninggal. “Bahkan di Jepang, kalau ada hasil panen yang tidak organik, tidak laku. Sebab di sana ada piranti yang bisa mendeteksi buah-buahan itu  organik atau tidak” sambung pengusaha muda sambil menghempaskan pantatnya di sofa santai teras samping Ertina.

            Sementara yang diberitahupun melongo. Ndomblong. Penuh perhatian. Terpesona akan kemampuan wawasan dan pengetahuan duda keren itu. Maklum lelaki pebisnis itu sering pulang balik Indonesia – luar negeri. Bahkan semenjak ditinggal mati istrinya setahun yang lalu, pria yang berkumis tipis itu hampir sehari-harinya banyak dihabiskan di luar negeri. Sebab profesinya sebagai konsultan bisnis property menuntutnya getol mendampingi para kilennya. Tidak jarang Andung juga dimintai makalah seputar kiat-kiat sukses berbisnis, lalu mempresentasikan di hadapan para pengusaha Indonesia yang sudah berdomisili di luar negeri.

            Daerah “jajahan” nya           antara lain Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Pilipina, Thailand, dan Bangkok. Bahkan dalam agendanya, beberapa bulan yang akan datang diundang sebuah perkumpulan di Jerman. Menurut panitia penyelenggara, rencananya Andung akan dipertemukan dan sekaligus di kenalkan dengan putra Bapak BJ. Habibie, Ilham Bintang. Dua orang pioner asal tanah air yang beda bidang itu akan “duel meet” dalam salah satu seminar yang membahas tentang sinergi-sinergi ekonomi kebangsaan.

            Untuk itulah sekalian Andung berencana akan memboyong putri tanah airnya ke negeri orang sebagai pendamping resminya. Dan tentu akan diperkenalkan kepada khalayak peserta seminar, bahwa dirinya sudah mempunyai pendamping yang paling gress !.

            “Istri Mas Andung dulu ya sering diajak keliling ?” celetuk Ertina  penuh selidik.

            “Jarang. Kadang kala” kata Andung jujur.

            “Kenapa ?” sahut Ertina mengejar.

            “Ia lebih suka tinggal di apartemen” suara cowok itu ringan, sejenak kemudian matanya berkaca-kaca. Ertina yang ada di sampingnya menatapnya dengan salah tingkah.

            “Maaf, bila aku mengusik ingatan Mas Andung pada almarhumah” ujar cewek itu setengah merunduk. Pertanda menyesali akan pembicaraannya tadi.

            “Ah, nggak apa-apa…” Andung berusaha tersenyum. Lanjutnya kemudian : “Almarhumah istriku malas jalan-jalan ketika usia kandungannya sudah agak tua”. Tangan kiri cowok  itu lalu merogoh saputangan, sebab airmatanya nggak bisa dibendung lagi, “Aku cuma ingat jabang bayi mungil yang dikandungnya” seru duda ngganteng  itu sesenggukan tapi ditahan. Malu ‘kali dengan cewek sebelahnya.

 Padahal lawan bicaranya sudah mencoba tidak merespon lagi. Maka serba repot bagi Ertina. Menanggapi dikira mengingatkan. Tidak merespon dikira tidak ada perhatian. Maka jalan pintas yang baik adalah diam dan sesekali menggut-manggut saja, sembari mengiyakan apa yang dikatakan cowok yang lagi naksir mahasiswi jurusan ekonomi itu. “Bayi mungil itu lahir sudah tidak ada”, lagi-lagi Andung menerawang ke angkasa dengan pandangan kosong.

“Oh, iya …” vokal Ertina hampir menyerupai orang bergumam.

“Sesaat kemudian ibu bayi itu menyusulnya” kata Andung, sambil melirik calon pengganti istrinya.

Yang dilirikpun lebih menundukkan kepala, “Oooh…ya…” lagi-lagi Ertina tanpa komentar.

“Er,… bawa masuk dulu, apelnya !” pinta Andung kepada cewek itu, sekaligus membuyarkan lamunannya masing-masing. “Biar dinikmati orang dalam” imbuh pria itu penuh bijak.

“Nggak ada siapa-siapa, di dalam” jawab Ertinya sambil menoleh ke pojok rumah bagian dalam.

“Bapak – Ibu …?”

“Pergi ke rumah Paman”

“Kamu nggak ikut ?”

“Di Kampus ada midle test !”

“Hooo….”

                              = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Andung dengan lincahnya menerobos kerumunan orang yang sama-sama menunggu antrian di ruang pemberangkatan salah satu pesawat yang akan terbang ke manca negara. Sementara pacarnya, dengan terpaksa harus menyesuaikan diri. Dinamis. Gerak cepat. Seribu langkah. Kepala merunduk terus. Tanpa menoleh sedikitpun. Sehingga begitu berpapasan dengan seseorang yang sudah dikenal, seolah tidak kenal. Itulah gaya berjalan ala orang-orang barat. Padahal mereka masih di negerinya sendiri. Apa yang terjadi bila mereka sudah berada di negeri orang.

“Berjalan agak pelan sedikit, kenapa sih Mas…?” Ertina membuka percakapan setelah mendapat tempat duduk di ruang tunggu pemberangkatan menuju luar negeri, sembari menyeringai kepayahan. 

“Harus disiplin !” sahut Andung setengah berbisik di telinga Ertina, sambil meremas tangan kanan dan jari jemari cewek yang lentik itu.

“Disiplin kok seperti dikejar anjing …” gerutu gadis itu manja, sesekali mengelap peluh yang bermuara di keningnya dengan beberapa lembar kertas tissu yang sudah terpegang di tangan kirinya. “Istri Mas Andung dulu, pertamakali ya kaget seperti saya ini Mas ?” Ertina iseng-iseng mengabarkan sikap almarhumah.

“Justru lebih kagetan istri saya” genggaman tanga Andung lebih kuat. Dan ini dirasakan Ertina.

“Aah…” teriak Ertina refleks. “Sakit nih, Mas….!” Rengek Ertina mengelus-elus pergelangan tangan dan jari-jarinya yang sedikit memerah. Andung bertambah gemes saja. Lebih-lebih aroma wangi parfum itu merasuk hidung Andung. Dan tentu pria itu lebih tergoda dibuatnya.

“Nah,….itu, tuh…sudah ada panggilan ! Kita ke pesawat sana, yuk !” ajak Andung, begitu mendengar sebuah informasi dalam bahasa Inggris. Andung paham betul isi pengumuman itu.

Kemudian para penumpang lain bergegas menuju pesawat dimaksud, setelah Andung dan ceweknya kembali bergandengan lagi hingga ke tengah-tengah pelataran bandara yang amat luas itu. Para petugas yang lengkap dengan seragam uniform tertentu itu, sama-sama berusaha memberi penghormatan dan pelayanan terbaiknya. Demi kemanusiaan dan demi perusahaan penerbangan. Lalu petugas yang ada di dalam ruangan pesawat yang akan bertolak ke Korea itu memberi isyarat dengan sopan dan takdzim kepada para penumpang untuk mencari tempat duduk sesuai dengan nomor tiketnya. Tidak jarang para pramugara/pramugari itu melongok nomor yang tertera pada lembaran yang dibawa penumpangnya, lantas mengantarkan sampai penumpang itu duduk dengan nyaman. Termasuk Andung dan Ertina.

“Beginilah, Er…layanan buat orang-orang the have” Andung memberi wawasan teman dekatnya.  Terusnya pula ,”Sejatinya kita-kita ini orang rendahan. Cuma karena terpaksa dituntut suatu keadaan, akhirnya kita dihormati pula” ujar pria itu berfilosofi.

“Tapi kalau naik bus murahan kok nggak terlayani dengan baik. Atau sesuai dengan kemampuan perusahaan busnya ” Ertina mencoba mencari bandingan.

“Itulah yang ingin saya katakan ! Betapa seandainya sistim penghormatannya saja yang dicontoh. Jangan sistim layanannya. Terlalu mahal. Berangkat dari nurani saja sudah baik, lho !” suara pria itu semakin nerocos saja. “Nanti minta minum apa saja terlayani. Minta teh hangat, kopi, kopi susu, pasti dikasih…” lanjut lelaki yang sudah sering pulang – balik dan akrab dengan berbagai layanan perusahaan penerbangan itu menginformasikan kepada cewek idolanya. Yang diberitahu itu seolah hanya ho oh, ho oh saja. Maklum meski gadis secantik Ertina yang wajahnya tak kalah dengan para selebritis kita itu sekalipun belum pernah menunggang pesawat terbang. Seumur-umur baru kali ini merasakan rumitnya administrasi ke luar negeri dengan pesawat udara. Inipun lantaran sang pacar berprofesi yang mengharuskan melang-lang buawana ke seluruh penjuru dunia. Dan maunya Ertina akan diperkenalkan kepada handai taulan dan khalayak seprofesi kekasihnya, bahwa dialah pendamping barunya setelah istri pertamanya dipanggil Sang Kholik selama-lamanya.

“Kita nanti bertempat tinggal di mana, Mas ?” Ertina penasaran.

“Saya punya apartemen. Kamu nanti di adik misan saya. Adik misan saya cewek, suaminya bekerja di perusahaan kontraktor” Andung menjelaskan perihal domisilinya. Lelaki itu paham, bahwa Ertina gusar akan tempat bermalamnya.

“Suaminya orang Korea ?” kejar Ertina ingin tahu.

“Bukan. Asli Bandung. Tamatan ITB” jawab Andung yang sudah cukup puas bagi cewek penakut itu.

Beberapa saat setelah ngobrol soal tempat tinggal, kini Ertina tampak lelah dan ngantuk. Kepala gadis itu cukup disandarkan saja pada kursi pesawat. Sementara sabuk pengamannya masih melingkar di perut yang ceking bin ramping itu. Sedangkan Andung memanfaatkan waktu luangnya untuk membolak-balik surat kabar yang di belinya setelah turun dari taksi sebelum masuk bandara Cengkareng. Sambil membaca-baca koran, sesekali pandangan mata Andung terlempar pada wajah ayu kekasihnya. Andung si dudua keren itu menelan ludah. Ingin rasanya menggigit leher jenjang kekasihnya.

                               = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

“Gadis Korea cantik-cantik ya, Mas…” ujar Ertina jujur. “Matanya sipit-sipit” komentar cewek itu, begitu menginjakkan kaki di bumi ginseng. Andung tidak menggubris omongan gadis itu. Sebab pria itu sibuk dengan sopir taksi dalam rangka pembayaran argometernya.

“Kita ke apartemen dulu, yuk !” ajak Andung setelah turun dari taksi di kota Seoul itu.

“Jauh, Mas…?” tanya Ertina sembari mengernyitkan dahi kepanasan.

“Nggak, itu…tuh…” gedung bertingkat yang ditunjuk Andung. “Kita nyebrang jalan, awas hati-hati” Andung mengingatkan pacarnya dengan setia sekali. Dan tangan kekar itu sudah tergandeng dengan tangan lentik Ertina. Setelah mereka berdua memasuki gedung utama, Andung bergegas menyeret ceweknya menuju tangga lift. Lantai 3 yang di tuju. Kamar nomer 12 itulah tempat persinggahan Andung. “Kamu istirahat dulu, di sini” kata Andung sembari membuka-buka koper bawaannya, mencari sesuatu.

“Lha, Mas mau kemana…?” Ertina tercengang.

“Aku juga mau istirahat, dong…!” sahut cowok itu sambil menghempaskan badannya berbaring-baring di sofa milik apartemen itu. “Silahkan ke kamar kecil dulu, Er ! Kalau perlu mandilah, biar segar !” perintah Andung pada calon istri barunya.

Gadis lembut itupun bergegas ke kamar kecil, yang di dalamnya sudah tersedia peralatan mandi, lengkap dengan sabun dan samponya. Sesaat kemudian keluar dengan wajah yang lbih bersih dan berbinar-binar segar. Diliriknya, pria itu sudah ngorok di atas sofa. Kecapekan. Kesempatan bagi Ertina untuk berganti pakaian. Setelah cewek itu berdandan ala kadarnya, mencoba mengambil beberapa tumpuk surat kabar lama terbitan Korea, yang terletak di pojo ruangan penginapan itu. Namun sayang wanita itu tidak bisa membacanya. Ia merasa lucu dan geli sendiri. Dalam benaknya, kok ada koran yang tulisannya nggak karu-karuan. Sebab koran itu berbahasa Korea tulen. Maka yang ditatap cewek itu hanyalah gambar-gambar dan fotonya saja. Lagi-lagi Ertina tertawa dalam hati. Dalam benaknya, dia bilang orangnya lucu-lucu. Matanya sipit-sipit. Rata-rata rambutnya  kejur semua. Tak terasa hari sudah cukup sore. Lama-lama dirasakan kok ya lapar juga. Akhirnya Ertina ingat akan tas bawaannya tadi ada beberapa camilan. Maka sambil baca-baca, ngemil itu nikmat.

“Hoaaahhh…..” Andung menguap lepas, setelah sekian lama menghilangkan penatnya. Tertidur di atas sofa.

“Nggak mandi, Mas…” sapa Ertina tanpa menoleh, karena asik dengan illustrasi-illustrasi koran Korea.

“Ghe…eeehhh….” Andung masih merasakan kantuknya.

“Bangun, dong…” sahut Ertina. Sudah sore, nih…” lanjutnya pula.

Sementara yang diteriaki tak bereaksi sama sekali. “Mas….Mas Andung…! Kok nggak bangun sih,….!” panggil Ertina mesra.

“Ha,…h…yeachh….” Sahut Andung tanpa makna. Lagi-lagi matanya nggak bisa dibuka.

“Bangun…dong…mandi,… dong…” goda Ertina menggelitik kumis tipis sang pacar. Tak ayal pula lelaki itu merasa kegelian dan tentu bangun dibuatnya. Dengan jalan yang masih sempoyongan lelaki berkaos dalam itu langsung menuju ke kamar mandi di ruang apartemennya. Semenatara ceweknya setia dengan lembaran-lembaran koran dan majalah yang diusung pacarnya dari tanah airnya. Bersamaan dengan selesainya baca-baca ringan, selesai pula Andung merapikan diri.

“Kita cari makan, yuk” ajak Andung memijit-mijit pundak tipir itu.

“Aoh…sakit, dong…Mas…” rengek gadis itu manja menyeringai : sakit-sakit campur enak. “Kalo makan, di mana Mas…”

“Di warung bawah, ada masakan khas Indonesia”

“Ada apa saja” tanya Ertina sambil mendongak ke atas

Ya…banyak deh…, ada pecel, lodeh, kare, rendang, bahkan gudeg Jogja juga ada ….” Andung menjelentrehkan. “Kita jalan saja ya, Non ?” seloroh Andung sembari melayangkan cubitan kecilnya pada pipi mulus wanita yang dipacarinya itu.

“Nggak jauh kan, Mas…?” pertanyaan Ertina yang belum terjawab itu lantas disahutnya sendiri oleh dara ayu, “Sekalian kit sambil jalan-jalan sore-sore”.

“Iya, jalan-jalan sore-sore, kayak lagunya Ikang Fauzi” keduanya tertawa renyah, meski perut pada keroncongan.

Andung dan Ertina menuruni lantai apertemennya dengan menggunakan lift. Tak terasa cowok-cewek itu sudah sampai di lantai paling dasar, yang merupakan perkantoran dari apartemen yang bercokol di kota Inchon tersebut. Begitu tiba di rumah makan yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari pemondokan Andung, malam itu  restoran yang menyajikan beberapa masakan khas antar negara sudah dipadati pelanggan, yang nota bene sama-sama jauh dari negeri seberang. Malam itu Ertina memesan kare ayam. Sementara Andung kepingin menyantap gule dan sate kambing muda.

Selesai makan, Ertina kembali mengingatkan seputar penempatan dirinya dalam istirahat malam, “Tempat adik misan Mas Andung itu, jauhkah Mas ?”

“Nggak seberapa. Habis ini kita langsung ke sana. Sudah saya SMS, kok” kata Andung menjelaskan.

“Serba repot dan susah, ya Mas ? kalau belum akad nikah itu” Ertina membuka  pancingan seputar hubungannya dengan dudu Andung itu.

“Tapi kita kan tahu diri. Sama-sama bisa menjaga jarak” seloroh Andung

“Memang pertama gitu, Mas. Lama-lama yang namanya setan … menggoda terus…” kata Ertina bersungut-sungut.

Oplet dari Inchon ke Seoul itu melaju dengan kencang sekali. Kira-kira 45 menit Andung dan Ertina menikmati kenyamanan jalan beraspal yang sangat mulus sekali. Di dalam taksi Ertina nerocos tiada henti-hentinya. Maklum baru pertamakali ini ia ke luar negeri, tepatnya Korea. Ya, Kore Selatan. Sang pacar pun meladeninya dengan semangat dan senang hati.

“Yang ditempati Mas, tadi….” Ertina mau bertanya, namun belum selasai pertanyaannya, sudah keburu dijawab dan disahut Andung.

“Apartemen Sunkwong. Apartemen itu semacam penginapanlah. Nama kotanya Inchon. Kotanya agak kecil, tapi semangat dan etos kerja masyarakatnya sangat tinggi”

“Lalu tempat adik misan Mas, …?” sambung Ertina.

“Seoul. Ibukota Korea Selatan” jelas Andung pula.

“Seoul, yang sering digunakan ajang olah raga dunia itu?” Ertina meyakinkan.

“Betul sekali” sergah Andung.

“Kita sudah sampai…turun, yuk..!”.

Informasi dari Andung ini bikin kaget ceweknya, “Kok cepat sekali, ya Mas. Nggak terasa sudah nyampek…!” kata Ertina penuh senyum. “Lalu…” lanjut Ertina pula.

“Kita masuk ke lorong ini” kata Andung menunjuk sebuah lorong yang cukup lebar, sebagai tempat yang dituju tempat putri pamannya bermukim.

Beberapa meter dari lorong itu, sudah nampak rumah yang ditempati famili Andung. Karena sudah ada berita SMS dari kakak misannya, Maya berjaga-jaga di depan pintu sambil momong si kecil, anak pertamanya yang masih 2,5 tahun.

“Mana suamimu ?” tanya Andung

“Tadi nelpon, katanya nggak pulang. Sebab ada lemburan di Kunsan” jawab Maya.

“Mbak ini calonnya Mas Andung, ya ?” Maya balik bertanya pada Andung, sambil melirik wanita itu.

“Doakan begitu” jawab Andung meminta do’a restunya. “Kenalkan, namanya Ertina..” tukas Andung kemudian. Ertinapun lantas bersalaman. Saling mengangguk.

“Saya Maya” kata adik misan Andung itu. “Silahkan duduk,

Mbak …!”lanjutnya pula.

“Ya, terimaksih…” kata Ertina kalem.

“Nggak usah malu-malu, Mbak…” seloroh Maya kepada calon misan iparnya. “Anggap saja di rumah sendiri. Ayahnya Mas Andung itu kan Pak De saya” kata Maya mengakrabkan diri. Tambahnya pula, “Nah, ayah saya Pamannya Mas Andung”

“Oohhh,…” Ertina mafhum.

Sejenak saja mereka sangat familier. Andungpun mengelus-elus si kecil. Sementara Maya dengan lincah dan cekatan menyuguhkan apa yang ada di rumah itu.”Mbak Ertina suka minum apa, tak bikinkan the ginseng, ya Mbak…” celetuk Maya yang ramah dan akrab itu.

“Sudahlah, dik…nggak usah repot-repot !” Ertina iseng-iseng. Padahal sejatinya ia penasaran dengan predikat  Korea penghasil ginseng terbesar. Sehingga kesohor dengan sebutan ‘negeri ginseng’

“Ginseng sebagai obat dan penghangat, Mbak…” ujar Maya sembari menyodorkan hidangan yang terkenal dari negara itu. Serta merta Andungpun menyeruputnya dengan segar sekali. Lalu diikuti Ertina dan tuan rumah sendiri.

“Gini lho, Mbak…ini sudah sering saya usulkan kepada Mas Andung, bahwa seandainya kapan-kapan dapat jodoh lagi, nggak perlu sering-sering pulang balik Indonesia-luar…” Maya membuka perusulan pada calon kakak misannya.

“Banyak biaya untuk mondar-mandir, memang…” seru Ertina.

“Disamping itu, tenaga dan waktu banyak yang tersita !” sahut Maya yang berpikiran dewasa.

“Yang penting jamu ginsengnya, ya Er…” tukas Andung sambil melirik calonnya. Suasana rumah famili Indonesia itu  semakin ramai dan riuh rendah juga. Gelak tawa mewarnai keakraban keluarga Jakarta itu.

“Maksud saya, begini. Mbak dan Mas Andung menikah di sini. Orangtua Mbak biar Mas Andung yang njemput di bandara Seoul. Nanti biar diganti biayanya. Besok kalo balik, biar disangoni sama Mas Andung.

Sontak Ertina terbengong-bengong dengan usulan yang begitu mendadak dan membikin deg-degan jantung yang baru mendengarnya. Tidak sepatah katapun yang mampu keluar dari mulut Ertina. Padahal biasanya cewek itu nerocos terus. Tapi entah kenapa menyoal rencana pernikahan yang disusulkan calon adik misannya itu,    seolah terasa kelu dan kaku serasa lidah untuk berkata-kata.

Walau dengan kebingungannya, tamu itu masih sempat mendengarkan saran-saran tuan rumahnya. “Jangan kuatir, Mbak. Di sini ada naib muslim, kok. Sekarang Korea banyak Islamnya, lho…!” sergah Maya memberi semangat saudara sepupunya. Lanjutnya kemudian “Kenalan Mas Andung dan suamiku sangat banyak sekali. Nanti kami undangkan mereka. Sama-sama dari Indonesia. Pokoknya resepsi alakadarnya kita bikin seperti di Indonesia. Yang penting akad nikah, beres…!!, biar nggak banyak-banyak dosa lagi… ! kan begitu ya, Mas Andung…?” kini giliran Maya yang nerocos mempromosikan ide aktualnya. Sindirnya pula, “Kata Ustadz, bila berduaan yang bukan muhrimnya, maka yang ke tiga adalah setan”.

Kini yang terlintas di benak Ertina adalah : betapa seandainya ide gila ini terwujud. Apa kata orang-orang dekat di Jakarta. Pulang-pulang, sambang kampung, perut sudah melembung. Tapi aku tak perduli dengan mereka. Yang penting aku sudah menikah. Akan kujalani malam-malam pertama dengan duda muda itu dengan lancar. Sebab dia sudah banyak makan asam garam perkawinan.  Di apartemen itu pula aku akan menghabiskan waktu, untuk berdedikasi, berpengabdian  yang tinggi kepada suami. Turut serta memberi dukungan akan kemajuan dan profesinya.

Lamunan Ertina buyar, ketika Maya menawari kakak sepupunya untuk istirahat malam di rumahnya, lantaran suaminya tidak pulang untuk beberapa hari karena ada garapan banyak di daerah Kunsan.

“Masak Mas Andung pulang balik ke apartemen Sunkwong malam ini ?” tanya Maya.

“Tadi rendacanya, begitu Dik” Ertina menimpali. “Mas Andung ke apartemen, saya disuruh tidur sini” imbuh Ertina

Serta merta Maya memberi solusi “Enakan tidur sini semua. Sambil jaga di rumah ini. Kan lelaki gua nggak ada …!”. Maya bergegas menata kamar dan tempat tidur yang akan digunakan tamu sekaligus bakal familinya. “Nih…Mas Andung di ruang depan, Mbak dan saya di ruang tengah bersama si unyil ini…” lanjut Maya mempertegas suasana sembari mencubit si kecil pertamanya.

Dalam kesempatan di dalam kamar itu, Maya terus menggencarkan ide dan promosinya agar prosesi perkawinan kakak misannya itu berjalan denagan sukses. Lagi-lagi yang dijadikan landasan adalah syare’at. Asalkan sudah sesuai dengan syarat dan rukunnya dalam pernikahan, mengapa tidak segera dilaksanakan ? Bukankah memperpanjang masa pacaran itu setali tiga uang dengan mengumpulkan 

dosa-dosa?- – – – – – – –

TRIO PENYIAR TANDEM

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

LAMONGAN Dengan adanya 5 hari masuk sekolah, bagi SMP-SMP Negeri mengandung hikmah tersendiri. Utamanya bagi anak-anak yang tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler kepenyiaran. Sesuai dengan arahan Bapak Helmi, koordinator bidang keradioan SMP Negeri 3 Babat, bahwa peserta ekstra broadcasting diharap datang di sekolah jam 07.00 WIB, setiap hari Sabtu dan Minggu. 

“Untuk yang lama ‘gimana, Pak ?” sahut Vera bertanya.

“Oh ya, termasuk penyiar yang sudah lama, bagi para senior juga harap hadir. Karena akan kita jadikan proyek percontohan…!” jawab Pak Helmi, di tengah-tengah kerumunan murid-murid yang memilih ekstra penyiar di halaman sekolah itu. 

Tepat pada hari yang ditentukan, Sabtu pagi-pagi anak-anak sudah banyak yang datang. Ada yang duduk-duduk santai. Bergerombol. Ada yang berlari-lari. Kejar-kejaran. Dan ada yang ngobrol ringan-ringan soal rencana sapaan di udara dsb. Ini mereka lakukan karena sambil menunggu pembina yang diidolakan, Pak Helmi Setiawan.

“Kok lama banget ya, Pak Helmi ….” gerutu  Rahma. Sementara anak-anak yang lain masih acuh tak acuh. Terutama mereka yang termasuk pendatang baru. Artinya murid-murid yang belum paham apa makna sebenarnya dari ekstra broadcasting itu. Selanag tak lama berikutnya, pembina yang ditunggu-tunggu itu hadir juga.

“Sorry banget ya, tadinya saya sudah mau berangkat, eh…ternyata ada tamu…jadinya agak tertunda…” sapa Pak Helmi yang sudah punya nama udara Bang Iwan Setiawan itu.

“Nggak papa Pak, kami-kami juga senang berlari-larian kejar-kejaran sama teman-teman…” celetuk Yumi Ermi sembari ngelap keringat. Dasar anak itu cantas, banyak omongnya. Cocok agaknya jika ia milih penyiar, sebagai ekstra andalannya.

Pak Helmi pun mafhum. Lantas membuka materi bimbingannya : “Oke, ini studio akan saya buka, sementara pemancar sudah saya nyalakan semenjak kemarin sore dengan siaran lagu-lagu padang pasir dan beberapa ceramah dari para ustadz. Memang sudah saya program. Sehingga mengalir dengan sendirinya. Tujuannya agar kita tidak kehilangan pendengar. Di sinilah kecanggihan komputer sebagai media teknologi informasi” kata Bang Iwan nerocos.

Satu persatu anak-anak itu dengan rapi menata tempat duduknya di studio siaran Radio Arsega FM. Dengan tanpa berisik, mereka memperhatikan dan mencermati ucapan-ucapan Bang Iwan di depan mikrofon. Beberapa anak ada yang cukup memantau dari teras studio melalui radio kontrol yang dipasang secara permanen di pojok teras itu.

Di sela-sela lagu yang diputar dengan volume super lirih itu Pak Helmi mulai menyapa pendengar : “Hallo sahabat Arsega, setelah Anda mengikuti ceramah agama dan beberapa dendang musik Timur Tengah, kembali bersama Bang Iwan di studio Arsega akan menemani sahabat dalam beraktifitas…..” suara Pak Helmi itu mantap dan lancar sekali. Maklum Pak Guru yang satu ini sudah malang melintang di dunia broadcasting/kepenyiaran.

Bersamaan dengan berhentinya vokal, volume lagu diperkeras lagi. Begitulah seterusnya. Inilah pembelajaran yang diperoleh anak-anak penyiar pada kesempatan itu.  Begitu lagu berhenti Pak Helmi memutar jingle (baca jinggel). Jinggel adalah lagu singkat yang menunjukkan ciri khas dari radio tersebut.

Begitu jinggel selesai, langsung disambut dengan vokal penyiar lagi : “Baik sahabat, Anda masih bareng bersama Bang Iwan Setiawan di Radio Arsega FM, gelombang 107, 8 Mega Hez. Yang dipancarsiarkan dari pelataran bergengsi SMP Negeri 3 Babat, jl. Raya Gembong kota wingko Babat….., Sebentar lagi Bang Iwan akan bacakan SMS yang masuk lewat HP studio, 0857 309 248 76. Namun sebelumnya yuk kita nikmati tembang yang berikut ini….” lagu yang digemari anak muda dari kelompok Wali Band, terdengar pula.

Lantas Pak Helmi off dari studio, demi membreafing anak asuhnya, : “Paling tidak seperti itulah orang siaran dengan menyapa di udara. Ciri pertama, vokalnya harus menampakkan keramahan. Seolah-olah yang bicara itu sedang dalam keadaan cerah ceria, begitu. Walaupun di rumah utangnya numpuk segunung…” kelakar Pak Helmi yang disambut gerrr anak-anak.

Dalam hitungan detik Pak Helmi meneruskan pembinaannya. Sementara lagu-lagu terus terputar secara sambung menyambung otomatis. “Oke, kalau begitu saya persilahkan anak-anak membuat konsep tulisan tangan, kira-kira apa yang akan kalian omongkan. Biar nggak lupa, silahkan dibaca dengan lancar, seolah-olah kalian sudah hafal, gitu….” petunjuk Bang Iwan.

Dengan cekatan anak-anak terutama yang pemula sibuk mengarang ucapan yang akan disiarkan. Sementara yang sudah masuk katagori penyiar kawakan/kakak seniornya, menulis ala kadarnya saja.

Mengetahui gelagat yang sudah lancar dari anak binaannya, Pak Helmi memberi kesempatan untuk siaran tandem (obrolan bersama). “Coba gini, biar kalian sebagai proyek percontohan, karena sudah tergolong senior dibanding adik-adik kelasmu, sekarang bikin siaran tandem, siaran bersama ngobrol bareng di udara…..” arahan Pak Helmi.

Ketiga bocah yang dianggap senior itu, Vera, Rahma dan Madun terbengong-bengong. “Kok mendadak amat sih, Pak….??” gerutu Madun, yang punya vokal sangat mantap sekali.

Pak Helmi yang punya nama di udara dengan sapaan Kak/Bang Iwan Setiawan itu memberi motivasi lagi : “Sudahlah, saya yakin kalian ini bisa, kok……! Kan sudah sering ketemu dan sering ngobrol bareng tentang apa saja. Karena radio kita komunitas pendidikan, ya bicaralah soal pendidikan, wawasan pengetahuan, info untuk ortu, tips-tips belajar bagi murid, arahan buat kawula muda, remaja dan sebagainya agar tidak terjerumus pada kenakalan remaja, hanyut dalam pergaulan bebas, terhindar dari minuman keras, narkoba dan seterusnya….dan seterusnya…..!!!” arahan Kak Iwan panjang-lebar secara off. Sebab yang mengudara adalah lagu-lagu tembang kenangan. “Oke, siap………???!!” tanya koordinator Radio Arsega-nya SMP 3 Babat itu.

“Ya, siap….kami coba….” jawab ke 3 anak penyiar kelas 9 itu hampir bersamaan, sambil menganggukkan kepala.

“Nah….gitu, dooonggg….!!!” Kata sanjungan Pak Helmi dengan berbunga-bunga. Sementara anak-anak penyiar pemula, utamanya kelas 7 dan 8 dipersilahkan mengamati siaran tandemnya teman-teman seniornya.

Secara reflek, jari-jemari Kak Iwan memainkan tombol-tombol mixer itu dengan lincahnya. Lantas menyapa pendengar dan memberi pengantar ala kadarnya : “Baik sahabat Arsega FM, berbahagia sekali kali ini Bang Iwan, karena putra-putri SMP Negeri 3 Babat, khususnya yang mengambil spesialisasi ekstrakurikuler sedang ngumpul nih, di studio. Biasa…..dalam rangka proses pembelajaran dan pelatihan. Kelas-kelas pemula, mendapat tugas di teras sana, nah untuk anak-anak yang sudah berpengalaman mengudara selama ini, akan mengadakan perbincangan santai. Iya, mereka bertiga sudah siap di studio, ada Vera, Rahma dan Madun. Guna menambah wawasan, mari kita simak percakapannya……” Bang Iwan mempromosikan mereka.

Di ruang kaca itu seolah mereka bertiga sudah janjian. Tentang apa-apa yang akan dibicarakan. Padahal mereka juga penuh spontanitas, yang diawali Si Madun : “Hallo,… sahabat Arsega FM, saya Madun  yang didampingi rekan saya, ada Vera dan Rahma. Halo, Vera…!”

“Halo, Madun…!” sahut Vera dengan senyum mengembang.

“Berikutnya, apa kabar Rahma…??” sapa Si Madun kepada rekannya yang kedua.

“Kabar baik, Kang Madun…!” balas Rahma cerah-ceria.

Dari kejauhan di luar kaca, Bapak Helmi memberi acungan jempol. Pertanda bagus dan harap diteruskan. Diam-diam Pak Helmi memantau lewat radio kontrol di teras bersama anak-anak binaan yang lain.

Dari dalam kaca, mereka bertiga enjoy bercuap-cuap. Saling melengkapi dan saling menambah informasi. Yang menjadi juru pancingnya adalah Si Madun. “Kita bertiga ini sebagai kawula muda kan, sebaiknya kayak apa sih yang harus kita perbuat….?!?!” Madun mencoba bikin pancingan.

Spontan Si Vera menyahut : “Kita harus pandai-pandai menjaga diri, lho…! Jangan sampai hanyut pada rayuan dunia yang bikin kita terlena, gitu….”

Si Rahma turut nyambung : “Sangat rugi kan, tenaga muda jika disalah gunakan. Cobalah berkarya untuk bangsa dan negara. Munculkan kreatifitas….”

Kang Madunpun membikin pancingan lagi : “Nah, sekarang menuju ke tekhnisnya. Tahu enggak sih, apa makna tekhnis itu ?”

Vera dan Rahma menimpali hampr bersamaan : “Belum… belum….!”

Jawab Madun mempelesetkan : “Tehnis itu artinya teh manis…ha…ha…ha…” dan mereka bertigapun lantas tertawa lepas. Justru menambah suasana siaran kali ini menjadi lebih hidup. Bang Iwan ikut tersenyum dan memberi support lagi dengan mengacungkan jempolnya.

“Ya, maksudnya cara-caranya berkreatifnya pemuda itu kayak apa….?” Si Madun menjelentrehkan.

Giliran Vera yang angkat suara duluan : “Contoh nih ye, ketika acara 17-an di bulan Agustus, menyambut HUT RI, remaja/pemuda tampil bergotong royong. Kerja bakti, bikin panggung, mengisi acara pentas seni. Itu kan termasuk contohnya ya, Bang Madun…?”

“Betul sekali, Vera !” sahut Madun. Tambahnya pula : “Seperti kita ini yang sederhana saja. Mestinya sekolah libur. Tapi kita di sini masih datang ke SMP 3 Babat, untuk bercuap-cuap. Ini juga mengeluarkan ide, kreatifitas dan kegiatan yang positif, kan…”

Rahmapun tidak mau ketinggalan dengan nimbrung juga : “Sedangkan kita bisa bercuap-cuap, mengeluarkan ide, menampilkan kreatifitas, tidak lepas dari bimbingan, arahan dan pembinaan dari bapak/ibu guru…”

Vera memperkuat lagi imajinasinya : “Makanya teman-teman, selayaknya berterimakasih kepada bapak/ibu guru. Minimal tidak menyakiti. Tidak melanggar tatatertib sekolah. Guru adalah pengganti orangtua. Karena ortu kita sudah menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk dibina oleh guru”

Madun menimpali dengan jitu sekali : “Makanya ingat, dalam syair lagu himne guru itu, kan isinya memberi penghormatan kepada para guru, atas jasa-jasanya. Oleh karena itu sahabat Arsega FM, mari kita simak sebuah syair yang mengangkat derajat para guru, lewat himne guru….selamat mendengarkan…!”

Dalam pada itu tangan Si Madun mengeklik lagu himne guru dari komputer yang ada di depannya.

Bapak Helmi masuk ke dalam ruang kaca memberi pujian : “Bagus…! bagus…! Nah, begitulah siaran tandem itu. Sahut – menyahut  dan sambung – menyambung tiada putusnya….” seru Pak Iwan. Katanya kemudian :” Saya tadi kan mantau terus bersama anak-anak yunior di luar sana !”

“Bagaimana Pak, hasilnya…???” Madun penasaran.

“Waaahhh….pokoknya hebat…!! Dahsyat…! Penuh daya pikat…!!!” sanjung Pak Helmi.

“Terus, habis ini apalagi Pak, yang harus kami lakukan…?” tanya Rahma penuh dengan kritis. “Biar kami dapat mempersiapkan yang lebih baik lagi, Pak !” sambungnya.

“Untuk sementara cukup. Tadi anak-anak pemula sudah saya latih siaran secara off di ruangan sebelah. Saya belum berani melepas siaran ke udara. Sebab pengetahuan dan ketrampilan mereka sangat minim sekali” seloroh Pak Helmi. “Oke kamu  Si Madun, boleh berpamitan lewat udara. Dan pemancar kita matikan. Besok Minggu pagi kita semua kumpul di sini lagi !” perintah Bang Iwan.

Dengan serta merta lincah dan cekatannya Si Madunpun berpamitan sebagai clossing (siaran penutupan acara). Sebab sudah semenjak kemarin pemancar terus on. Kini untuk beberapa saat istirahat dulu. Dan sesuai dengan yang dijanjikan Pak Helmi, bahwa besok Minggu pagi bersambung kembali untuk menyapa pendengar di udara. = = = = = = = = =

WEDI   ING  SESAJI

Karya : Bpk. Ahmad Fanani dan Bpk. Ahmad Ghozi

 PAK Saemo lan Mbok Sumirah isih kepingin adu argumentasi sajake. Awit ing akhir-akhir iki wong loro kang wis bebojoan lawase 21 (selikur tahun) iku prasasat kerep uring-uringan. Ora liya goro-garane rerembugan ing babagan rencana pawiwahan putri siji-sijine kang ditresnani.

          “Ragade wong mantu iku ora sethithik lho, Pakne…!” dhawuhe Mbok Sumirah.

          “Digawe sethithik iya bisa, digawe akeh iya dadi. Gumantung bandha lan kemampuane dhewe-dhewe. Kari ndeleng kepriye bentuke” Pak Saemo mangsuli kanthi kalem, banjur nyedhot cerutune nganti  kempong pipine.

          “Lha iya,…durung mengko yen ngundang dhalang ruwatan……” lagi wae Mbok Sumirah arep menehi ancer-ancer, kedhisikan Pak Saemo mbanting cerutu-klobote, mak…’plok…!’.

            Pak Saemo emosine memuncak, “Gendheng ketemu pirang perkara kowe …!!” mripate katon abang mbranang. Terus melolong ngawasi bojone. Mripate mendelik, : “Kesugehen kowe ya, …kakehan dhuwitmu…?!” mengkono celathune sinambi malangkerik ana ing ngarepe Mbok Sumirah.

          Sawetara kuwi, wedhus ana ing kandhang kang cacahe amung loro kroto iku embak-embek terus, kaya-kaya ora seneng manawa bendarane brontoyudho. Gegeran terus rina-wengi.

          “Karepmu kepriye Mbokne, kok arep ngundang dhalang ruwatan barang iku lho, karepmu kepriye …??!” Pak Saemo penasaran.

          “Pakne ki, kepriye toh, … mosok lali yen nduwe bocah prawan, kathik ontang-anting pisan…!” jawabe Mbok Sumirah entheng-cementheng.

          Sejatine Pak Saemo nalare kebukak. Syare’at agamane wis nyanthol lan sumunar ana ing atine. Babagan sing ora logis, ora digawe. Nanging seje maneh tumrap  Mbok Sumirah. Babar-blas. Formulasi keilmuan kang sinumber saka gugon-tuhon, tansaya-suwe tansaya-modern isih diugemi. Kamangka ora logis. Ora mathuk akal. Apa maneh ora cocok karo ajaran syare’at. Ananging,  pendekatane Pak Saemo marang bojone iku, dideleng saka sudhut pandhang ekonomi wae.

          “Iku yen nduwe dhuwit Mbokne, ! Lha yen ora nduwe …? Arep adol apa kowe …? Wong mangan saben dinane wae dhuwit utangan…! Iku wae durung bisa nyaur…! Untung,…awake dhewe iki isih diparingi  bejo kemayangan. Si Mardiyah olehe sekolah tumekane kuliyah ana ing Perguruan Tinggi oleh Beasiswa. Gratis…! Golek panganan wae isih direwangi nandur ing tegalan. Kadhang-kadhang njagak-ne  wong kondangan, wong ater-ater, wong slametan…!!” Pak Saemo mbesengut. Ngudal jurus pamungkase. Menehi pengertian bojone kang kaku atine, peteng pikire. Ciyut wawasan keagamaane. Walhasil cupet nalare.

          Otomatis sak nalika Mbok sumirah ora bisa semaur babar pisan. Mung thenger-thenger kanthi pandangan kosong-mlompong.  Kala-kala mlaku rana-rene : antarane ruang tamu lan pawon, sinambi nyugoake geni. Rupa-rupane Mbok Sumirah ora gelem kalah. Ora let suwe nambahi komentar, : “Ngene lho, Pakne… sak ora-orane nggawe tumpeng utowo ambeng……”

          Sak nalika ugo Pak Saemo nyahut : “Lha, yen ngono aku setuju. Minangka sarana  bersyukur ing ngarsane Gusti Alloh kang murbeing dumadi…!” ature kanthi gumuyu lakak-lakak. Candake, : “Lha mengko, ngundang tangga kanan-kiri. Kurang luwih mung wong 20 (rongpuluh)  wae….!”

          “Isin aku, Pakne…! Wong mantu kok ora lapo-lapo…!” sahute Mbok Sumirah ora sumringah.

          “Awak dhewe iki kegolong ekonomi lemah ! Kowe dak kandani ya Mbokne ?! Syarat rukune nikah yen wis dilakoni rak ya wis, toh…??! Perkara walimahan, resepsi,  iku sunnat hukume. Pokok-e  wong-wong wis padha ngerti lewat kenduren….ya wis…!” tandhase Pak Saemo sinambi nyumet udude maneh kang lagi wae tirwe (nggelintir dhewe). “Ngerti …? Ora usah wayang-wayangan… Ora usah dhalang-dhalangan…!” sambunge bapakne Mardiyah.

“Ya wis,  aku sesuk dak blanja menyang pasar”

“Ora perlu mewah-mewah !”

“Aku isin, Pakne ! Duwe gawe kok cilik-cilikan !”

“Pantes wae toh, wong melarat kok…!”

“Arep menyang Mbah dhukun wae !”

“Mbah Dhukun wis pindah karo Alam, diboyong Endang Kurnia menyang Jakarta !”

“Ya wis, dak tuku sajen wae !”

“Ora usah sajen-sajenan…!!”

          “Mengko yen ana kedadeyan apa-apa, kepriye Pakne…?”

          “nDedungo ing ngarsane Gusti Alloh”

          “Mengko yen ana Bethorokolo…?”

          “Ojo kuwatir, Bethorokolone wis mati, gepeng, mlebu kothak…!”

          “Mengko yen Mardiyah diparani  banjur dipangan Bethorokolo, kepriye Pakne…!”

          “Kowe dak kandhani ya Mbokne, sing dadi Bethorokolo iku, ya mantumu,  bojone Mardiyah…! Ngerti …!”

          “Wooo…ngono toh….?”

          “Edan, kowe …!”

*  *  *  *  *  *

 Mbok sumirah ora bisa mikir. Prasasat akale entek. Ora ana kesempatan lan pitakonan kanggo mbantah lanangane. Malah-malah kesempatan iki dienggo Pak Saemo golek alasan logis lan bukti nyata. Sebab nganti seprene Mardiyah si anak tunggal iku kok sehat-sehat wae. Mulai mlethek nganti perguruan tinggi ora nate keterak pageringan. Wiwit sekolah SMP sampek kuliah terus-terusan oleh beasiswa. Aten-atene apik, ugo landhep pikire. Bocahe prigel. Masio bocah wadon nanging cekat-ceket sarwo rikat. Mulane kanca sak podho-padhane akeh sing seneng. 

          Dening ibune Mardiyah, wis kondang manawa Mbok Sumirah paling ceriwis ing kampunge. Kamangka Pak Saemo ora pati akeh omonge. Kerep dienggo kalah-kalahan karo sing wedok. Padahal, keberhasilane Si Mardiyah iku ora luput saka motivasine Bapakne. Karepe Mbok Sumirah biyen, sawise Mardiyah tamat saka SMA langsung omah-omah.

          Banjur saiki, saben dinane Mardiyah kerep mulih menyang omahe wong tuwane dhewe. Wis ora ndekos maneh. Awit bocah lencir kuning dhuwur semampai kuwi wis tamat saka Perguruan Tinggi Jurusan Geguritan. Saya suwe saya  katon tambah ayu lan luwih dhewasa. Mula ana salah sijine priya kang ngarepake cewek tunggal iku, diajak mbangun tresna, nyusun rumahtangga bahagia : mawaddah, sakinah lan rohmah

          Mulo uga Bapak lan Ibune Mardiyah iya sarujuk manowo putrine jejodohan karo pawongan lanang kang isih lajang, saka manca-desa. Apa maneh bocah loro kang beda jenis iku kerep ketemu ana ing kampus, nalikane kuliyah

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =