Sudah dimuat Kompas
DARI CBSA KE KBK DALAM BIDANG AGAMA
Oleh : Ahmad Fanani Mosah
(Guru Agama SMP Negeri 3 Babat – Lamongan)
KETIKA |
ramai-ramainya sistim pembelajaran dengan menggunakan metode pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) (di era 90-an), bidang studi Pendidikan Agama Islam telah lebih mendahuluinya. Betapa tidak ! Prasasat hampir seluruh rangkaian materi yang tersaji lewat pelajaran agama Islam pasti membutuhkan keaktifan. Tidak hanya murid saja yang aktif. Justru guru, sekaligus pendidik dituntut lebih aktif lagi. Bukankah beliaunya sebagai ‘model panutan’ atau ‘publik figur’ bagi para muridnya ?.
Taruh saja Pak Ustadz itu mau menyajikan materi tentang sholat, misalnya. Guna menghasilkan proses belajar-mengajar yang efektif dan maksimal, maka si terdidik itu harus mempraktekkan gerakan-gerakan sholat berikut do’a/bacaannya. Sementara sang guru itu lebih dahulu memberi contoh dengan semporna. Proses berikutnya adalah praktikum yang dijalani oleh murid-muridnya. Begitu pula test/penilaian, setidak-tidaknya guru dapat menjajagi sejauh mana praktikum sholat yang telah ia berikan kepada anak didiknya.
Di sinilah letak keaktifan antara guru dan murid. Dan inilah sesungguhnya esensi dari pendekatan CBSA itu sendiri. Namun sayang-sayang seribu sayang, kala itu kelemahan (sekali lagi kelemahan – bila tidak mau disebut kegagalan) penerapan CBSA adalah kebanyakan guru pasrah bongkokan kepada muridnya supaya aktif. Padahal gurunya sendiri tidak aktif. Seolah dengan CBSA waktu itu murid dilepas begitu saja untuk berkutat dengan seabreg soal-soal yang tersaji dalam buku LKS (Lembar Kerja Siswa).
Akhirnya kesan yang mendalam pada waktu itu adalah banyaknya rasan-rasan dari pihak ke tiga, bahwa jadi guru itu enak sebab yang aktif muridnya saja, gurunya tidak pernah ngopeni kelasnya. Tampaknya suara-suara yang bernada sumbang ini terpicu dari ulah guru itu sendiri, yang selalu mengentengkan tanggungjawabnya, dengan dalih yang aktif adalah murid. Maka tak ayal pula, CBSA diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Akhir. Apalagi di era itu bersamaan dengan diwajibkannya para guru untuk memakai seragam PSH abu-abu yang kainnya didrop pemerintah, dengan keringanan potong gaji sekian kali.
Bukan karena kepandaian guru itu dalam mengkanter kebijakan, sehingga CBSA sebagai salah satu pendekatan dalam proses belajar-mengajar diplesetkan menjadi Cicilan Baju Seragam Abu-abu.
Kini muncul lagi ide dilematis antara pemerintah si pembuat aturan dengan guru yang melaksanakan di lapangan, yakni adanya metode pendekatan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tidak lain adalah dikmasud agar modal dasar yang dimiliki siswa dapat dikembangkan. Sehingga bakat-bakat terpendam setidak-tidaknya dapat tersalurkan, selain melalui kegiatan ekstrakurikuler dan juga intrakurukuler, tentunya.
Dan hal ini sejalan dengan proses berpikir dan perkembangan anak, bahwa guru itu harus menyampaikan materi sesuai dengan tingkat kemampuan dan kemauan siswa dalam menghadapi pelajaran. Ada yang bergairah dan tidak jarang pula ada yang lemah. Maka untuk yang satu ini guru-guru pendidikan Agama dituntut untuk lebih dapat menarik perhatian murid lagi, agar lebih fresh dalam menerima pesan-pesan moral.
Kehandalan guru Agama dalam ber’amar ma’ruf nahi munkar yang sekalugus membawa ke arah inovasi akan mendapat nilai plus tersendiri, yang pada gilirannya akan dikerubuti murid-muridnya. Apalagi anak-anak seusia SD?MISMP/M.Ts yang dalam masa pertumbuhannya itu selalu ingin dekat dengan guru idolanya. Balasan dan konskwensi psichologis berikutnya adalah si anak itu minta selalu diperhatiin melulu.
Spesial pelajaran Pendidikan Agama Islam, jauh sebelum sistim pendekatan KBK (Kurukulum Berbasis Kompetensi), kita yakin bahwa guru-guru Agama itu sudah melaksanakan KBK sendiri. Meskipun tidak disertai bukti fisik yang njelimet bin ruwet itu. Sebab tampaknya dengan kebijakan yang serba mengharuskan adanya bukti fisik dan permainan administratif ini, tidak menutup kemungkinan juga dijadikan ajang permainan juga.
Misalnya guru yang tidak aktif, akan menyulapkan diri menjadi guru yang paling aktif, lantaran sang guru itu memiliki segudang bukti fisik. Sementara pejabat penilai angka kredit untuk kenaikan pangkat tidak mau tahu dilapangan. Sebab — memang logikanya – hanya mengandalkan tumpukan berkas yang disodorkan kepadanya. Dan team pejabat penilai itupun sudah selayaknya cukup bekerja di belakang meja saja.
Tampaknya fenomena semacam inilah yang bisa menyurutkan niatan baik para guru Agama, yang ditengarai sebagai sosok yang dijadikan panutan. Padahal, guru agama adalah manusia biasa. Bukan malaikat yang suci, bersih dari dosa. Sedangkan bagi mereka yang betul-betul aktif bisa jadi nasib kepangkatannya terlantar, gara-gara tidak memiliki seonggok kertas fisik yang disodorkan.
Sebab kenyataan di lapangan, bahwa untuk mendapatkan berkas-berkas fisik sebagai bahan yang akan diajukan dalam kenaikan pangkat, sedikit namyak aharus menguras tenaga dan biaya. Efek berikutnya adalah meninggalkan jam pelajaran, yang pada gilirannya kelas menjadi kosong : murid terlantar, sehingga memicu kenakalan. Wallohu a’lam.
(Kiriman Ahmad Fanani Mosah, Penulis Adalah Guru Agama SMP Negeri 3 Babat-Lamongan)