Juli 27, 2024

SMP NEGERI 3 BABAT

Sekolah Adiwiyata Nasional

Opini Resensi Buku

Resensi Buku
DARI PENDIDIKAN  PRIBADI MENUJU PENDIDIKAN MENGOLAH BUMI
Dalam Novel
“Banyu Bening Gita Cinta Dari Universitas Airlangga”
            Diresensi Oleh : Ahmad Fanani Mosah
(Peresensi Adalah Pemerhati Seni Budaya, Guru SMP Negeri 3 Babat)
 
Judul Novel         : Sungai Bening Gita Cinta Universitas Airlangga
Penulis                 : Viddy AD Daery
Penerbit               : Visi Amansentosa Dahsyat – 2011
Percetakan           : Cakrawala Surabaya
Illustrasi/Cover    : Ayu Masayu Alisa R.
Format                 : 13,5 cm x 20,5 cm
 
BANYU Bening identik dengan masalah kebumian. Guna mengenangnya, lantas orang mengadakan Hari Bumi.  Dunia (secara internasional) sudah memperingatinya setiap tahun, dengan bahasa kerennya “Earth Day”. Secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesadaran orang akan urgennya bumi seisinya yang kita injak-injak dan kita kelola ini. Selain itu – minimal – manusia diharapkan dapat berapresiasi dengan bumi sebagai tempat berpijak tadi.

Salah satu materi dalam Novel yang bertajuk Banyu Bening Gita Cinta Dari Unair ini, manusia diberi peringatan agar senantiasa  melestarikan dan menjaga bumi beserta lingkungan tempat tinggalnya dari kerusakan,  pencemaran (polusi) dan pemilikan semena-mena dan secara serampangan. Sebab kalau sudah ada kesaadaran untuk menjaga dan merawatnya, niscaya bumi ini dijamin agar tetap asri sepanjang hari, yang pada gilirannya menjadi sehat, aman dan nyaman untuk ditinggali.

Setidaknya itulah antara lain pesan yang disisipkan Viddy AD Daery si novelis yang akan menghadiri undangan untuk berceramah dalam rangka Festival Seni Budaya Se-Asia Tenggara di Sabah-Malaysia. Dalam lakon yang diperankan oleh Bondoyudo, si konglomerat keparat itu “memakan” hutan tanpa memperhatikan lingkungan.

Di era 90-an Selamet Abdul Syukur, sang konduktor kenamaan, pernah menggelar konser alam di hutan lindung Trawas-Mojokerto. Peralatan yang dipakai oleh peserta konser kala itu adalah benda-benda yang berbahan  dari alam sekitar pedesaan itu. Diantaranya suling bambu dengan berbagai ukuran dan suaranya. Ada suling gesek yang menimbulkan suara burung, ayam berkokok, dsb. Bahkan sang konduktor menyarankan untuk membawa alat-alat keseharian. Orang-orang kampung sekitar hutan Trawas itupun bergegas mengambil alat sekenanya. Ada yang membawa sapu lidi, ada yang membawa tampah, lesung lengkap dengan alu/antannya. Lucunya ada yang membawa wakul (semacam keranjang untuk wadah nasi). Lebih lugu lagi ada yang memanggul boran (wakul dalam ukuran yang sangat besar sekali) (biasanya sebagai tempat untuk menyimpan persediaan beras atau hasil panen lainnya bagi orang-orang pedesaan).
Uniknya, para peserta konser yang dipilih oleh Selamet Abdul Syukur adalah orang-orang kampung yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu. Mereka sama sekali tidak faham akan tangga nada  (tidak menegerti sol – mi – sa – si, maklum orang pedalaman hutan, tapi bukan orangutan lho).  Dengan kode tertentu Selamet memberi isyarat untuk memulai membunyikan peralatan seadanya itu.  Apa dikata, ternyata dengan peralatan yang bersumber dari alam itu dapat menghasilkan suara-suara alam yang kini langka di dengar orang.

Di alam pedesaan yang sejuk, dengan suasana yang nyaman, terdengar kicauan burung. Berbarengan dengan itu, ibu-ibu pada bangun di pagi hari lantas menyalakan api tungku untuk membuat wedang kopi. Sementara di sisi lain, ada tetangga yang memukulkan wakulnya untuk dibersihkan, karena  selesai ngaru (menanak nasi) untuk dikukus-dang di dalam dandang sabluk menggunakan kukusan. Dari kejauhan sana terdengar ibu-ibu menyapu halaman dengan menggunakan sapu kerik (sapu lidi). Sedangkan bapak-bapak ada yang memotong dan membelah bambu hingga menimbulkan bunyi kreteg….kreteg….dan seterusnya. Kaum nenek-nenek di sebelahnya menampeni dan atau menginteri beras. Ini dalam rangka membersihkan beras dari gabahnya. Sesekali terdengar suara kresek….kresek….dur…dur…dur…suara tampah dipukul.
Lain di kampung lain di sekitar bukit. Di bawah bukit yang redup di pagi hari itu terdapat pancuran. Gemericik air yang mengalir menambah tenang dan damainya hati. Pak tani yang baru saja mencangkul di sawah dengan rasa haus dan dahaga akan segera sirna manakala mereguk air yang memancur dari perbukitan yang rindang. Sementara bagi petani yang sawahnya jauh dari perairan yang memancur dari tebing itu, para pencangkul  cukup puas dengan menyedot air yang terdapat di dalam liang yuyu (ketam sawah), yang ada di pinggir-pinggir galengan. Nyedotnyapun menggunakan damen (tangkai padi). Aduh betapa sedap aromanya.
Pemandangan dan bunyi – bunyian semacam ini kini sangat langka didapati. Lebih-lebih di kota-kota besar metropolitan semacam Jakarta. Orang-orang kota jika ingin mendengarkan kicauan burung saja harus membeli kaset rekamannya. Padahal lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Artinya tidak dikitari rumpun bambu, tidak ada gemericik air dari tebing, tidak ada pemandangan petani yang menjemur gabahnya, dsb.
Karena kebanyakan pelakunya (dalam novel itu) adalah mahasiswa FIS (Fakultas Ilmu Sosial), sangat pas sekali jika Bang Viddy menyisipkan alur ceritanya yang menggambarkan para mahasiswa sedang mengadakan penelitian seputar bumi, air beserta ekologinya (lingkungan sekitarnya) dengan mulai melakukan sesuatu yang mudah, agar air (banyu) itu benar-benar bening (jernih). Untuk itu sangat matching sekali dengan corak cover dan illustrasi yang dipercayakan kepada Ayu Masayu Alisa, dengan garapannya yang cerah and ngejreng.

 

Ada beberapa tindakan untuk menyelamatkan alam sekitar, diantaranya :

  1. Hemat listrik
  2. Hemat air
  3. Menanam pepohonan lebih banyak
  4. Memperbanyak tempat sampah
  5. Membuang sampah pada tempatnya
  6. Gunakan satu kendaraan untuk tujuan searah
  7. Gunakan sepeda untuk tujuan dekat
  8. Gunakan kertas seefisien mungkin
  9. Gantilah kertas tisu dengan saputangan
  10. Gantilah bungkus plastik dengan kertas yang mudah hancur
  11. Bawalah tas kain ketika berbelanja
  12. Donasikan barang-barang yang tak terpakai untuk dimanfaatkan orang lain.

Mestinya Damon seorang mahasiswa kreatif melihat adik misan-nya punya mertua konglomerat, harus diberi masukan agar dapat mengelola perusahannya, sehingga dapat melakukan gerakan 4 R :

  1. Reduce. Meminimalisir jumlah penumpukan sampah. Sampah yang terdiri dari dedaunan, sebisa mungkin ditimbun di dalam tanah untuk dijadikan humus (pupuk kompos).
  2. Reuse. Memakai kembali atau menggunakan lagi secara maksimal. Untuk itu donasikan barang-barang yang tidak terpakai agar dimanfaatkan orang lain.
  3. Recycle. Memanfaatkan kembali barang lama untuk keguanaan baru. Untung ada pemulung, yang bisa mengirim barang-barang bekas ke pabrik untuk di daur ulang.
  4. Repair. Melakukan tindakan ramah lingkungan untuk memperbaikinya. Bahan-bahan pestisida dan pupuk buatan banyak disinyalir akan merusak ekologi tanah. Termasuk bungkus-bungkus yang tebuat dari plastik. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa 1 bungkus permen akan hancur dalam waktu 100 tahun, semenjak bungkus permen yang kecil itu dipendam dalam tanah.

 

Gambaran seputar pelestarian lingkungan hidup secara umum dan penyelamatan hutan dari penebangan sembarangan ini tertuang dalam karya Viddy AD Daery, dimana penovelnya adalah penasehat DKL (Dewan Kesenian Lamongan). OLeh karenanya sang penulis Gita Cinta Dari Unair itu tidak segan-segan mempopulerkan kota adiluhungnya yang misuwur dengan nasi boranan, Lamongan sebagai bagian dari salah satu settingnya. Tak ayal pula budayawan kelahiran Laren 1961 ini sedang menginternasional lewat orasi budayanya yang selalu mempertahankan Gajah Mada adalah putra asli dari Lamongan, tepatnya wilayah Modo. Sedangkan ibunya, Dewi Andongsari wafat lantaran pendarahan hebat tatkala melahirkan orok (jabang bayi) yang kini situs-situsnya menjadi rebutan pengakuan.  (Kiriman AHMAD FANANI MOSAH, Peresensi  Adalah Pemerhati Seni Budaya, Guru  SMP Negeri 3 Babat-Lamongan, Kontak HP : 0857 309 248 76).

Resensi Buku

DARI PENDIDIKAN  PRIBADI MENUJU PENDIDIKAN MENGOLAH BUMI

Dalam Novel

“Banyu Bening Gita Cinta Dari Universitas Airlangga”

            Diresensi Oleh : Ahmad Fanani Mosah

(Peresensi Adalah Pemerhati Seni Budaya, Guru SMP Negeri 3 Babat)

 

Judul Novel         : Sungai Bening Gita Cinta Universitas Airlangga

Penulis                 : Viddy AD Daery

Penerbit               : Visi Amansentosa Dahsyat – 2011

Percetakan           : Cakrawala Surabaya

Illustrasi/Cover    : Ayu Masayu Alisa R.

Format                 : 13,5 cm x 20,5 cm

 

BANYU Bening identik dengan masalah kebumian. Guna mengenangnya, lantas orang mengadakan Hari Bumi.  Dunia (secara internasional) sudah memperingatinya setiap tahun, dengan bahasa kerennya “Earth Day”. Secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesadaran orang akan urgennya bumi seisinya yang kita injak-injak dan kita kelola ini. Selain itu – minimal – manusia diharapkan dapat berapresiasi dengan bumi sebagai tempat berpijak tadi.

Salah satu materi dalam Novel yang bertajuk Banyu Bening Gita Cinta Dari Unair ini, manusia diberi peringatan agar senantiasa  melestarikan dan menjaga bumi beserta lingkungan tempat tinggalnya dari kerusakan,  pencemaran (polusi) dan pemilikan semena-mena dan secara serampangan. Sebab kalau sudah ada kesaadaran untuk menjaga dan merawatnya, niscaya bumi ini dijamin agar tetap asri sepanjang hari, yang pada gilirannya menjadi sehat, aman dan nyaman untuk ditinggali.

Setidaknya itulah antara lain pesan yang disisipkan Viddy AD Daery si novelis yang akan menghadiri undangan untuk berceramah dalam rangka Festival Seni Budaya Se-Asia Tenggara di Sabah-Malaysia. Dalam lakon yang diperankan oleh Bondoyudo, si konglomerat keparat itu “memakan” hutan tanpa memperhatikan lingkungan.

Di era 90-an Selamet Abdul Syukur, sang konduktor kenamaan, pernah menggelar konser alam di hutan lindung Trawas-Mojokerto. Peralatan yang dipakai oleh peserta konser kala itu adalah benda-benda yang berbahan  dari alam sekitar pedesaan itu. Diantaranya suling bambu dengan berbagai ukuran dan suaranya. Ada suling gesek yang menimbulkan suara burung, ayam berkokok, dsb. Bahkan sang konduktor menyarankan untuk membawa alat-alat keseharian. Orang-orang kampung sekitar hutan Trawas itupun bergegas mengambil alat sekenanya. Ada yang membawa sapu lidi, ada yang membawa tampah, lesung lengkap dengan alu/antannya. Lucunya ada yang membawa wakul (semacam keranjang untuk wadah nasi). Lebih lugu lagi ada yang memanggul boran (wakul dalam ukuran yang sangat besar sekali) (biasanya sebagai tempat untuk menyimpan persediaan beras atau hasil panen lainnya bagi orang-orang pedesaan).
Uniknya, para peserta konser yang dipilih oleh Selamet Abdul Syukur adalah orang-orang kampung yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu. Mereka sama sekali tidak faham akan tangga nada  (tidak menegerti sol – mi – sa – si, maklum orang pedalaman hutan, tapi bukan orangutan lho).  Dengan kode tertentu Selamet memberi isyarat untuk memulai membunyikan peralatan seadanya itu.  Apa dikata, ternyata dengan peralatan yang bersumber dari alam itu dapat menghasilkan suara-suara alam yang kini langka di dengar orang.

Di alam pedesaan yang sejuk, dengan suasana yang nyaman, terdengar kicauan burung. Berbarengan dengan itu, ibu-ibu pada bangun di pagi hari lantas menyalakan api tungku untuk membuat wedang kopi. Sementara di sisi lain, ada tetangga yang memukulkan wakulnya untuk dibersihkan, karena  selesai ngaru (menanak nasi) untuk dikukus-dang di dalam dandang sabluk menggunakan kukusan. Dari kejauhan sana terdengar ibu-ibu menyapu halaman dengan menggunakan sapu kerik (sapu lidi). Sedangkan bapak-bapak ada yang memotong dan membelah bambu hingga menimbulkan bunyi kreteg….kreteg….dan seterusnya. Kaum nenek-nenek di sebelahnya menampeni dan atau menginteri beras. Ini dalam rangka membersihkan beras dari gabahnya. Sesekali terdengar suara kresek….kresek….dur…dur…dur…suara tampah dipukul.
Lain di kampung lain di sekitar bukit. Di bawah bukit yang redup di pagi hari itu terdapat pancuran. Gemericik air yang mengalir menambah tenang dan damainya hati. Pak tani yang baru saja mencangkul di sawah dengan rasa haus dan dahaga akan segera sirna manakala mereguk air yang memancur dari perbukitan yang rindang. Sementara bagi petani yang sawahnya jauh dari perairan yang memancur dari tebing itu, para pencangkul  cukup puas dengan menyedot air yang terdapat di dalam liang yuyu (ketam sawah), yang ada di pinggir-pinggir galengan. Nyedotnyapun menggunakan damen (tangkai padi). Aduh betapa sedap aromanya.
Pemandangan dan bunyi – bunyian semacam ini kini sangat langka didapati. Lebih-lebih di kota-kota besar metropolitan semacam Jakarta. Orang-orang kota jika ingin mendengarkan kicauan burung saja harus membeli kaset rekamannya. Padahal lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Artinya tidak dikitari rumpun bambu, tidak ada gemericik air dari tebing, tidak ada pemandangan petani yang menjemur gabahnya, dsb.
Karena kebanyakan pelakunya (dalam novel itu) adalah mahasiswa FIS (Fakultas Ilmu Sosial), sangat pas sekali jika Bang Viddy menyisipkan alur ceritanya yang menggambarkan para mahasiswa sedang mengadakan penelitian seputar bumi, air beserta ekologinya (lingkungan sekitarnya) dengan mulai melakukan sesuatu yang mudah, agar air (banyu) itu benar-benar bening (jernih). Untuk itu sangat matching sekali dengan corak cover dan illustrasi yang dipercayakan kepada Ayu Masayu Alisa, dengan garapannya yang cerah and ngejreng.

 

Ada beberapa tindakan untuk menyelamatkan alam sekitar, diantaranya :

  1. Hemat listrik
  2. Hemat air
  3. Menanam pepohonan lebih banyak
  4. Memperbanyak tempat sampah
  5. Membuang sampah pada tempatnya
  6. Gunakan satu kendaraan untuk tujuan searah
  7. Gunakan sepeda untuk tujuan dekat
  8. Gunakan kertas seefisien mungkin
  9. Gantilah kertas tisu dengan saputangan
  10. Gantilah bungkus plastik dengan kertas yang mudah hancur
  11. Bawalah tas kain ketika berbelanja
  12. Donasikan barang-barang yang tak terpakai untuk dimanfaatkan orang lain.

Mestinya Damon seorang mahasiswa kreatif melihat adik misan-nya punya mertua konglomerat, harus diberi masukan agar dapat mengelola perusahannya, sehingga dapat melakukan gerakan 4 R :

  1. Reduce. Meminimalisir jumlah penumpukan sampah. Sampah yang terdiri dari dedaunan, sebisa mungkin ditimbun di dalam tanah untuk dijadikan humus (pupuk kompos).
  2. Reuse. Memakai kembali atau menggunakan lagi secara maksimal. Untuk itu donasikan barang-barang yang tidak terpakai agar dimanfaatkan orang lain.
  3. Recycle. Memanfaatkan kembali barang lama untuk keguanaan baru. Untung ada pemulung, yang bisa mengirim barang-barang bekas ke pabrik untuk di daur ulang.
  4. Repair. Melakukan tindakan ramah lingkungan untuk memperbaikinya. Bahan-bahan pestisida dan pupuk buatan banyak disinyalir akan merusak ekologi tanah. Termasuk bungkus-bungkus yang tebuat dari plastik. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa 1 bungkus permen akan hancur dalam waktu 100 tahun, semenjak bungkus permen yang kecil itu dipendam dalam tanah.

 

Gambaran seputar pelestarian lingkungan hidup secara umum dan penyelamatan hutan dari penebangan sembarangan ini tertuang dalam karya Viddy AD Daery, dimana penovelnya adalah penasehat DKL (Dewan Kesenian Lamongan). OLeh karenanya sang penulis Gita Cinta Dari Unair itu tidak segan-segan mempopulerkan kota adiluhungnya yang misuwur dengan nasi boranan, Lamongan sebagai bagian dari salah satu settingnya. Tak ayal pula budayawan kelahiran Laren 1961 ini sedang menginternasional lewat orasi budayanya yang selalu mempertahankan Gajah Mada adalah putra asli dari Lamongan, tepatnya wilayah Modo. Sedangkan ibunya, Dewi Andongsari wafat lantaran pendarahan hebat tatkala melahirkan orok (jabang bayi) yang kini situs-situsnya menjadi rebutan pengakuan.  (Kiriman AHMAD FANANI MOSAH, Peresensi  Adalah Pemerhati Seni Budaya, Guru  SMP Negeri 3 Babat-Lamongan, Kontak HP : 0857 309 248 76).